TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi membacakan nota keuangan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 16 Agustus 2018. Dalam pidatonya, Jokowi menargetkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 menjadi 1,84 persen. Angka defisit ini lebih rendah dibanding 2018 sebesar 2,12 persen atau 2,59 persen pada 2015.
Baca: Jokowi Sebut Keadilan Ekonomi Jadi Perhatian Serius Pemerintah
Guna menekan defisit APBN 2019, pemerintah melakukan sejumlah langkah, antara lain mengendalikan tambahan utang dan mengurangi pembiayaan anggaran 2019 sebesar 5,4 persen. Pada tahun-tahun sebelumnya, kata Jokowi, APBN Indonesia masih mengalami kenaikan pembiayaan akibat ekspansi fiskal untuk stabilisasi dan memperkecil dampak merosotnya harga komoditas pada waktu itu.
"Dengan defisit APBN serta defisit keseimbangan primer yang makin kecil, dengan peningkatan pendapatan yang realistis, dengan belanja yang makin berkualitas dan tepat sasaran, serta pembiayaan yang prudent dan produktif, maka APBN diharapkan akan semakin sehat, adil, dan mandiri," katanya.
Dalam RAPBN 2019, pemerintah merencanakan belanja negara Rp 2.439,7 triliun. Untuk mendongkrak pendapatan negara, pemerintah menargetkan kenaikan 12,6 persen dibanding 2018. "Naik 38,2 persen dari pendapatan dan hibah di tahun 2014 sebesar Rp 1.550,5 triliun," ujar Jokowi.
Wajib pajak melaporkan SPT pajak di kantor pelayanan di kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu, 11 Juli 2018. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan pajak bisa menjadi tulang punggung agar suatu negara dapat menjalankan fungsi sebagai penjaga kedaulatan. TEMPO/Tony Hartawan
Pemerintah juga mendongkrak penerimaan perpajakan dengan mematok target rasio pajak 2019 sebesar 12,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) alias naik 11,6 persen dari perkiraan pada 2018. Arah kebijakan pajak pada 2019 dilakukan dengan mengumpulkan sumber pendapatan negara dari kegiatan ekonomi nasional, serta terus mendorong peningkatan kepatuhan melalui reformasi administrasi perpajakan yang lebih sederhana dan transparan.
Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi itu dikritisi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan. Dia menyebut ada tiga persoalan ekonomi yang membutuhkan terobosan kebijakan dari pemerintah.
Menurut Zulkifli, turunnya rasio gini dari 0,41 menjadi 0,39 bukan karena pendapatan masyarakat kelas bawah yang naik. "Ini terjadi akibat turunnya pendapatan masyarakat kelas atas ketimbang naiknya pendapatan masyarakat kelas bawah," ucapnya di Ruang Rapat Paripurna I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 16 Agustus 2018.
Zulkifli menilai yang perlu diperhatikan adalah golongan miskin dan hampir miskin yang masih sangat besar jumlahnya. Golongan ini sangat rentan terhadap perubahan harga. "Oleh karenanya, pemerintah perlu menjaga harga-harga barang kebutuhan rumah tangga agar daya beli mereka tidak tergerus," tuturnya.
Pemberdayaan ekonomi kecil dan mikro perlu terus dikembangkan melalui fasilitas kredit, juga fasilitas produksi dan pasar, termasuk bantuan pemasaran dan teknologi, agar mereka tumbuh dan berkembang.
Ia menambahkan, kesempatan berusaha dari kebijakan perluasan pembangunan infrastruktur harus didistribusikan secara luas ke daerah melalui usaha-usaha swasta menengah dan kecil. "Tidak hanya dimonopoli oleh BUMN (badan usaha milik negara). Ini pesan daerah-daerah," katanya.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan di rumah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Kamis malam, 9 Agustus 2018. TEMPO/Budiarti Utami Putri.
Negara, menurut Zulkifli, juga harus menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah krisis sejak dini. "Ini merupakan titik lemah yang harus kita selesaikan agar ketahanan ekonomi jadi kuat. Kita tidak perlu lagi memakai alasan bahwa nilai tukar rupiah melemah terdampak global tanpa mau melihat diri sendiri ke dalam," ujarnya.
Zulkifli mengatakan saat ini melihat peningkatan arus impor yang sangat bebas dan tidak terkendali. Sedangkan kemampuan ekspor melemah karena batas daya saing di industri rapuh. Tidak ada kebijakan industri yang memadai sehingga sektor ini tumbuh rendah dan daya saingnya lemah. "Sektor ini tengah mengalami deindustrialisasi yang sangat memprihatinkan," ucapnya.
Tugas pemerintah dan kebijakannya adalah membangkitkan kembali sektor industri sehingga mampu tumbuh dua digit seperti pada masa-masa yang lalu.
Dalam hal pengelolaan utang, Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu mengatakan pemerintah tak bisa menyatakan utang pemerintah aman dengan rasio utang 30 persen. "Yang sangat perlu dicermati adalah jumlah beban pembayaran utang pemerintah, yang mencapai tidak kurang dari Rp 400 triliun pada 2018," tuturnya.
Baca: Jokowi Sebut Pemerintah Sukses Rebut Freeport hingga Blok Rokan
Jumlah ini, kata Zulkifli Hasan, setara dengan tujuh kali dana yang diberikan kepada desa-desa di seluruh Indonesia atau enam kali anggaran kesehatan seluruh rakyat Indonesia. "Dan sudah di luar batas kewajaran kemampuan negara untuk membayarnya," katanya.
CAESAR AKBAR | REZKI ALVIONITASARI | ANTARA
Baca berita lain tentang Jokowi di Tempo.co.