TEMPO.CO, Istanbul – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan serangan terhadap stabilitas perekonomian negaranya masih akan berlanjut menyusul pelemahan nilai tukar lira sejak Jumat, 10 Agustus 2018.
Baca:
Erdogan Sebut Amerika Lancarkan Perang Dagang
Pemilu Turki, Trump Ucapkan Selamat kepada Erdogan
Baca Juga:
Erdogan berharap lira bakal kembali menguat setelah sempat melemah hingga 7,2 lira per dolar Amerika Serikat. Ia mengatakan jatuhnya nilai tukar lira baru-baru ini merupakan hasil sebuah plot dan bukan cerminan fundamental ekonomi.
“Kita bersama di NATO dan kemudian Anda mencoba menusuk punggung mitra strategis di punggung. Apakah cara seperti itu bisa diterima?” katanya merujuk sanksi Amerika, yang menaikkan tarif impor baja dan aluminium asal Turki menjadi dua kali lipat, seperti dilansir CNBC, Senin, 13 Agustus 2018.
Baca: Mata Uang Lira Terpuruk, Erdogan Minta Warga Turki Jual Dollar
“Turki sedang menghadapi sebuah pengepungan ekonomi. Kami mengambil serangkaian langkah melawan serangan-serangan ini dan akan terus melakukannya,” ujarnya dalam serangkaian pidato sejak akhir pekan lalu untuk menenangkan publik dan para pelaku pasar di Turki.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan Amerika tidak akan mencapai tujuannya menekan dan mengenakan sanksi kepada Turki. Dalam sebuah konferensi bersama para duta besar di Ankara, Cavusoglu meminta Washington tetap loyal kepada ikatan berdasarkan pertemanan tradisional dan aliansi NATO.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dengan disaksikan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Brussels Belgia, 11 Juli 2018. (Presidency Press Service via AP, Pool)
Hubungan Turki dan Amerika memanas ketika Presiden Amerika Donald Trump mengenakan sanksi dengan menaikkan tarif impor baja dan aluminium dari Turki masing-masing 50 persen dan 20 persen. Kenaikan tarif impor ini bakal membuat harga jual produk asal Turki menjadi mahal dan sulit bersaing dengan produk kompetitor dari negara lain.
Trump juga memberikan sanksi kepada dua menteri Turki, yaitu Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul dan Menteri Dalam Negeri Suleyman Soylu, terkait dengan penahanan pastor asal Amerika, Andrew Brunson.
Otoritas Turki mengenakan tahanan rumah kepada Brunson dari sebelumnya tahanan penjara, yang telah dijalani 20 bulan. Otoritas Turki menuduh Brunson terlibat membantu kelompok kudeta militer yang gagal terhadap Erdogan pada 2016 lalu. Trump meminta Turki membebaskan Brunson dengan menyebutnya tidak bersalah.
Tinggalkan Dolar
Menghadapi pelemahan nilai tukar mata uang lira, yang telah melemah sekitar 45 persen sejak awal tahun, Erdogan menjajaki kemungkinan meninggalkan dolar.
Sebagai gantinya, seperti dilansir media Hurriyet Daily News, Turki akan menggunakan mata uang nasionalnya saat bertransaksi dengan mitra dagang terbesar, seperti Cina, Rusia, Ukraina, dan Iran. Turki juga menjajaki langkah serupa dengan Uni Eropa.
Soal ini, pemerintah Rusia menyambut baik dengan mengatakan telah menawarkan hal itu dalam sejumlah diskusi dengan Turki. Terlebih, nilai tukar rubel juga melemah sekitar 1-2 persen seusai pengumuman sanksi baru oleh pemerintah Amerika terhadap Rusia. Sanksi ini terkait dengan serangan terhadap bekas agen ganda Sergei Skripal di Inggris pada Maret 2018.
“Isu penggunaan mata uang nasional dalam perdagangan bilateral merupakan topik yang telah diangkat pemerintah Rusia sejak lama dan konsisten di berbagai level pembicaraan, termasuk level atas,” ucap juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, seperti dilansir Sputniknews dan Haaretz, Senin, 13 Agustus 2018.
Peskov melanjutkan, "Presiden (Vladimir) Putin telah beberapa kali berbicara soal ini dan aspek praktis penerapannya."
Baca: Amerika Serikat Kenakan Sanksi Kepada Dua Menteri Turki
Pemerintah Rusia menilai penerapan penggunaan mata uang nasional dalam transaksi perdagangan bilateral membutuhkan kalkulasi yang detail dalam penerapannya.
“Ini yang kami perjuangkan untuk hubungan bilateral perdagangan dan ekonomi,” tutur Peskov. “Dan ini sudah dibicarakan berulang kali dalam diskusi ekonomi bilateral antara Rusia dan Turki.”
Tambah Likuiditas
Menyusul terjadinya pelemahan nilai tukar lira, pemerintah Turki melakukan pelonggaran likuiditas, yang dimotori bank sentral Turki atau CBRT. Mulai awal pekan ini, CBRT melonggarkan ketentuan saldo cadangan minimum di perbankan untuk tabungan berbasis lira, valuta asing, hingga emas.
Presiden Iran Hassan Rouhani (kiri), Presiden Rusia Vladimir Putin (tengah), dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. [http://aa.com.tr]
Hal itu menambah pasokan likuiditas hingga 10 miliar lira atau sekitar Rp 21 triliun untuk tabungan berbasis lira. Lalu ada tambahan likuiditas setara US$ 6 miliar atau sekitar Rp 88 triliun untuk pasar valuta asing. Selain itu, tambahan US$ 3 miliar setara emas atau sekitar Rp 44 triliun di pasar uang.
“Bank sentral menyatakan bakal menyediakan semua likuiditas perbankan yang dibutuhkan,” demikian dilansir Reuters.
Dalam wawancara pada Ahad malam, 12 Agustus 2018, Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak menuturkan pemerintah Turki telah menyiapkan sejumlah paket ekonomi untuk mulai diterapkan pada Senin, 13 Agustus.
“Sejak Senin pagi dan seterusnya, lembaga-lembaga kami akan mengambil semua langkah yang diperlukan dan akan mengumumkannya ke pasar,” kata Albayrak, 40 tahun, yang juga menantu Erdogan, seperti dilansir Reuters, Senin.
Pasca-pengumuman ini, lira sempat menguat menjadi 6,4 lira per dolar Amerika dari sebelumnya 7,24 lira, meski kemudian melemah ke level 6,92 lira per dolar Amerika pada Senin.
Albayrak, yang pernah menjadi anggota parlemen, menikahi putri Erdogan pada 2004 dan memiliki tiga anak. Sebelumnya, pria yang meraih gelar master of business administration di Amerika ini pernah menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Alam serta menjadi CEO Calik Holding. Calik merupakan perusahaan asal Turki yang bergerak di bidang energi, telekomunikasi, tekstil, dan keuangan.