TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia menghadapi ancaman denda Rp 5 triliun oleh Organisasi Perdagangan Dunia atua WTO. Sanksi tersebut akibat buntut kekalahan Indonesia di sidang banding WTO, November 2017 lalu.
Baca: Amerika Serikat Minta Izin WTO Jatuhkan Sanksi ke Indonesia
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan ia telah bertemu dengan perwakilan Amerika Serikat pada Juli lalu. Pertemuan difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri saat ia memenuhi undangan United State Trade Representative. "Secara prinsip sebetulnya itu sudah selesai," ujarnya. Pertemuan itu membahas 10 poin yang menjadi perhatian Amerika Serikat.
Selain bertemu USTR, Enggartiasto juga berkunjung ke pabrik Boeing. “Saya bertemu Secretary Departement of Commerce Wilber Ross, Congressman, terakhir dengan Ambasor USTR Robert E Lightizer,” kata dia di Bandung, Rabu, 8 Agustus 2018.
Bersamaan dengan serangkaian pertemuan itu Amerika Serikat resmi meminta Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) menjatuhkan sanksi sebesar US$ 350 juta atau sekitar Rp 5 triliun terhadap Indonesia. ”Kita sudah kalah, atas dasar itu diperbaiki peraturannya,” kata dia.
Baca: Ancaman Sanksi dari WTO, Ekonom: Harusnya Impor Dikurangi
Kunjungan tersebut menghasilkan sejumlah kesepakatan di antaranya menaikkan volume perdagangan dengan Amerika. Untuk itu pemerintah menindaklanjuti kesepakatan dengan membuka keran impor sejumlah produk pertanian dari AS. Di antaranya adalah kapas, daging sapi dan kedelai.
Buah apel lokal asal Malang yang dijual di Pasar Johar, Semarang, Jateng, 28 Januari 2015. Dihentikanya impor apel asal Amerika membuat apel lokal membanjiri pasar. Tempo/Budi Purwanto
Pertemuan antara Enggartiasto dan perwakilan Amerika Serikat diamini Menko bidang Perekonomian, Darmin Nasution. Darmin mengaku heran dengan ancaman sanksi WTO tersebut. "Nah sebetulnya responnya di sana (AS) bagus. Tahu-tahu minggu kemarin, pimpinan WTO menerima surat dari perwakilan AS," ujar Darmin di Hotel Borobudur Jakarta, Rabu, 8 Agustus 2018.
Darmin berujar duta besar Indonesia di Jenewa telah mendapatkan tembusan atas keberatan AS. Negara yang dipimpin Presiden Donald Trump itu menyebut Indonesia belum memenuhi harapan mereka dalam beberapa bidang terutama pertanian dan holtikultura. "Dalam hal akses mereka menjual mereka menjual produk-produknya, utamanya buah-buahan. Tapi kalau kedelai tidak, kedelai AS banyak sekali," kata Darmin.
Sebenarnya, kata Darmin, Indonesia telah mengubah beberapa aturan yang diprotes oleh Amerika dan Selandia Baru. "Padahal kita sudah ubah loh Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan yang tadinya mereka keberatan," ujar dia. Namun, untuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, Indonesia memang masih minta waktu sampai 2020.
Darmin mengulang keheranannya atas langkah pemerintah AS. "Padahal di Washington, duta besarnya mereka itu cukup puas," kata Darmin. "Tapi di WTO mereka bilang ini belum sesuai dengan keinginan mereka."
Atas langkah AS tersebut, Darmin menyebut pemerintah harus kembali berdiskusi dengan pemerintah AS untuk menanyakan keinginan mereka. "Kita perlu duduk lagi dengan mereka. Ini bukan main pandang-pandangan saja," ujar dia.
Kasus ini bermula pada tahun 2016. Saat itu, Indonesia telah menerbitkan 18 aturan yang dianggap sebagai hambatan nontarif untuk sejumlah produk pertanian dan peternakan asal Amerika Serikat dan Selandia Baru. Beberapa produk impor tersebut yaitu di antaranya apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah-buah kering, hewan ternak, ayam dan daging sapi.
Ilustrasi daging sapi beku. squarespace.com
Indonesia beralasan penerapan aturan ini bertujuan untuk melindungi petani dan peternak lokal. Sebaliknya, Amerika dan Selandia Baru menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan yang disepakati antar anggota WTO.
Kedua negara ini lantas mengadukan kebijakan Indonesia ini ke WTO. Per 23 Desember 2016, Indonesia harus menanggung kekalahan di sidang tersebut. Memang ada upaya banding dari Kementerian Perdagangan, namun Indonesia kembali kalah.
Saat ini baru Amerika yang resmi mengajukan sanksi terhadap Indonesia ke WTO. Sementara Selandia Baru belum sama sekali menunjukkan sinyal akan mengajukan permintaan yang sama. Selandia Baru dikabarkan juga mengalami kerugian yang lebih besar hingga 1 miliar New Zealand Dollar atau setara Rp 9,7 triliun.
Jauh sebelum 2016, Selandia Baru dan Amerika Serikat telah melayangkan gugatan pada 2013 sebagai respons atas berbagai hambatan dagang nontarif yang diberlakukan Indonesia sejak 2011. Kedua negara tersebut mempermasalahkan pembatasan kuota impor sapi dan ayam serta beberapa jenis buah dan sayur oleh pemerintah.
Namun, Indonesia telah menghapus sistem kuota impor sapi sejak paruh kedua 2016. Kementerian Perdagangan juga telah melakukan sejumlah deregulasi sehingga sudah ada berbagai perubahan kebijakan.
Dengan keputusan WTO itu, pemerintah terhitung mulai 22 November 2017 harus menyesuaikan 18 aturan impor hortikultura, hewan, dan hewani dengan ketentuan badan internasional tersebut. Artinya, 18 ketentuan yang dipermasalahkan harus sudah mulai diubah dengan diawali tahap reasonable period of time (RPT).
AHMAD FIKRI | CAESAR AKBAR