TEMPO.CO, Jakarta - Tanpa ditanya wartawan yang sudah menunggunya sejak lepas waktu salat isya pada Rabu malam pekan lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Bambang Susilo Yudhoyono atau SBY ujug-ujug curhat tentang hubungannya dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri. “Saya harus jujur, hubungan saya dengan Ibu Megawati belum pulih. Masih ada jarak," kata SBY.
Simak: Demokrat Sebut SBY Tidak Baper Soal Hubungannya dengan Megawati
Malam itu, SBY baru saja menerima Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan di rumahnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Alih-alih merinci apa hasil pertemuannya dengan Zulkifli, Presiden RI keenam ini malah lebih banyak bercerita soal pasang-surut hubungannya dengan Megawati.
Selain mengenai hubungannya dengan Megawati, SBY mengatakan peluangnya untuk berkoalisi dengan Jokowi sudah tertutup. Salah satu penyebabnya, kata SBY, adalah partai koalisi Jokowi, yang sudah lebih dulu bergabung, seakan enggan dengan Demokrat. “Sungguh pun saya merasakan ketulusan Pak Jokowi mengajak Demokrat. Tapi memang tidak terbuka jalan bagi Demokrat bergabung dengan koalisi Jokowi," ujarnya. "Mungkin Tuhan belum menakdirkan hubungan kami."
Simak: PKS: Ujug-ujug Datang, Demokrat Jangan Minta Cawapres Prabowo
Pernyataan SBY ini seolah menegaskan posisi Demokrat untuk merapat dengan gerbong koalisi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Apalagi, sehari sebelum bertemu dengan Zulkifli, SBY menerima Prabowo. Dalam pertemuan itu, Prabowo secara tidak langsung mengatakan koalisi Demokrat dengan Gerindra hanya menunggu masalah waktu untuk diresmikan.
Salah satu yang menghambat koalisi ini adalah sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PAN. Kedua partai ini sudah menjadi sekondan Gerindra sejak pemilihan presiden 2014. Bahkan, dalam beberapa pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak 2018, keduanya juga menjalin koalisi untuk mengusung calon.
Baca juga: Ketua Umum PPP Sebut SBY Pernah Tawarkan AHY Jadi Cawapres Jokowi
PAN memang tidak terlalu kentara menunjukkan keberatannya. Justru PKS yang sejak awal terkesan berat menerima Demokrat. Anggota Majelis Syuro PKS, Tifatul Sembiring, masih percaya diri Partai Gerindra bakal meminang salah satu kader PKS sebagai calon wakil presiden atau cawapres Prabowo. "Kalau kami masih tetap, cawapres masih dari PKS," ucap Tifatul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 24 Juli 2018.
Tifatul mengatakan PKS menyambut baik jika akhirnya Demokrat memutuskan berkoalisi dengan Gerindra, PKS, dan PAN. Namun dia mengingatkan agar Demokrat tak meminta posisi cawapres dengan menyodorkan AHY. "Dalam tanda kutip Demokrat kan baru mendekat, jangan ujug-ujug datang terus minta posisi seperti itu," tuturnya.
Baca: Hidayat Nur Wahid Sarankan AHY Tidak Jadi Calon Wapres
Demokrat memegang posisi penting dalam koalisi ini. PKS memang harus mempertimbangkan elektabilitas kader yang mereka sorongkan untuk maju dalam pilpres 2019. Sebab, beberapa lembaga survei yang sudah merilis hasil siginya selalu menempatkan kader PKS di posisi terendah.
Sementara itu, Demokrat memiliki Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang dalam beberapa lembaga survei memang dijagokan kuat menjadi kandidat cawapres. Namun hingga sejauh ini belum ada pernyataan dari SBY yang tegas menyebutkan akan menyorongkan AHY dalam pilpres 2019.
Baca: Jika Kadernya Tak Dipilih Prabowo, Militansi PKS Bakal Turun?
Senin, 30 Juli 2018, SBY berencana bertemu dengan Presiden PKS Sohibul Iman. Pertemuan ini disebut-sebut sebagai penentu bagaimana nasib koalisi partai pendukung Prabowo dalam pilpres 2019. "Bahasa kasarnya, tuh, penentuan nasib koalisi PKS dan Gerindra," kata Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyudin, Sabtu, 28 Juli 2018.