TEMPO.CO, Washington – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 10 persen untuk impor barang dari Cina senilai US$ 200 miliar atau sekitar Rp 2.800 triliun.
Pernyataan Trump pada Senin, 18 Juni 2018, ini meningkatkan ketegangan terhadap terjadinya perang dagang berskala besar dengan Beijing.
Baca:
Cina Minta AS Tidak Naikkan Tarif Impor atau...
Perang Dagang Amerika-Cina, Begini Strategi agar Ekspor Meningkat
Trump mengatakan ini merupakan balasan atas keputusan Cina, yang mengenakan kenaikan tarif impor senilai US$ 50 miliar atau sekitar Rp 705 triliun. Sebelumnya, pemerintah Cina mengatakan ikut menaikkan tarif impor barang dari Amerika sebagai balasan atas keputusan Trump menaikkan tarif impor dari negara ekonomi terbesar kedua itu dengan nilai US$ 50 miliar atau sekitar Rp 705 triliun atau dengan nilai sama.
“Setelah semua proses legal selesai, tarif ini akan berlaku jika Cina menolak mengubah praktik dagangnya, juga jika Cina berkukuh melanjutkan tarif baru impor yang baru saja diumumkannya,” kata Trump, seperti dilansir Reuters, Senin.
Baca Juga:
Baca:
Perang Dagang Dimulai, Cina Balas Tarif Impor Amerika
Perang Dagang Amerika - Cina, Defisit Dagang Rp 5,200 Triliun
Amerika mengalami defisit perdagangan dengan Cina senilai US$ 375 miliar atau sekitar Rp 5.300 triliun pada 2017. Trump ingin mencukur defisit ini U$ 200 miliar hingga 2020.
Mengenai perang dagang antara Amerika dan Cina itu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan ini bisa menjadi peluang bagi ekonomi Indonesia untuk meraup keuntungan.
"Perang dagang tidak selalu berita jelek. Kalau kita bisa menghasilkan produk yang dibikin Cina dan bea masuk kita lebih murah, pasti akan untung," ujarnya di Kompleks Widya Chandra, Sabtu, 16 Juni 2018.
Namun Darmin melihat kedua negara itu pasti tidak akan tinggal diam bila ekspornya terganggu. Mereka pasti akan mencari pasar baru untuk menjual komoditasnya, yang terhambat penjualannya karena kenaikan tarif impor oleh Amerika dan Cina.
Soal ini, ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, mengatakan perang dagang itu bisa berdampak pada defisit neraca perdagangan di Tanah Air.
“Kondisi ini bisa berakibat pada defisit neraca perdagangan terganggu hingga akhir semester kedua 2018,” ucapnya kepada Tempo, Senin.
Bhima mengatakan beberapa dampak yang sudah mulai terasa antara lain lesunya ekspor produk kelapa sawit, yang merupakan produk unggulan. Pada kuartal pertama, ekspor sawit turun 17 persen dibanding periode sama pada 2017.
Ini terjadi karena beberapa negara pembeli sawit memilih kebijakan yang lebih proteksionis untuk kepentingan domestiknya. Amerika, misalnya, menaikkan bea masuk produk biodiesel. Ini juga terjadi di Eropa dengan beberapa retailer melarang penjualan minyak kelapa sawit.
"Lalu India juga ikut-ikutan meningkatkan bea masuk antidumping-nya untuk produk kelapa sawit gitu," tutur Bhima.
Produk lain yang terganggu akibat perang dagang itu adalah produk di sektor otomotif. Menurut Bhima, ekspor Indonesia ke beberapa negara, seperti Vietnam, juga secara tidak langsung ikut terganggu. Lalu ekspor besi baja dan aluminium ke Amerika juga bisa terganggu akibat perang dagang itu.
Selain lesunya sektor ekspor, Bhima mengatakan perang dagang juga berdampak meningkatnya impor Indonesia. Sebab, kata dia, Indonesia dianggap sebagai pasar untuk pelampiasan ekspor dari negara yang terkena dampak perang dagang.
"Jadi siap-siap kalau Cina susah masuk ke Amerika, dia akan banting setir ekspor ke negara lain. Pasar Indonesia besar, tentu Indonesia akan terkena dampak," katanya. Bhima mengaku merasa khawatir ini bisa memicu meningkatnya neraca perdagangan karena impor Indonesia bisa naik.
Perang dagang ini mulai terdengar gaungnya pada Maret 2018 ketika Trump mengancam akan mengenakan kenaikan tarif impor untuk berbagai produk dari Cina, seperti elektronik. Cina sempat mengancam balik akan melakukan hal yang sama.
Kedua negara lalu berunding beberapa kali untuk mencari solusi. Isu ini sempat mereda pada awal Mei ketika Cina berjanji akan membeli sekitar US$ 70 miliar atau sekitar Rp 1.000 triliun produk pertanian dari Amerika. Namun ketegangan kembali muncul setelah pada pekan lalu Trump mengancam mengenakan tarif impor 10-25 persen untuk produk impor senilai US$ 50 miliar atau sekitar Rp 705 triliun dari Cina.