TEMPO.CO, Jakarta - Kamboja sangat bergantung pada Cina setelah Perdana Menteri Hun Sen berutang pada Negara Tirai Bambu itu. Kemudian Hun Sen dimanfaatkan Cina untuk memecah belah ASEAN agar tidak mengeluarkan satu suara soal sengketa Laut Cina Selatan. Dalam Piagam ASEAN keputusan diambil secara musyawarah atau kompromi, sehingga satu suara berbeda maka keputusan tidak diambil.
Adapun negara-negara ASEAN yang terlibat dalam sengketa dengan Cina adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Filipina.
Tokoh oposisi Kamboja dan mantan Ketua Partai Penyelamat Kamboja Nasional atau CNRP, Sam Rainsy, mengatakan selain berutang dengan Cina, Hun Sen juga berutang banyak pada Asian Development Bank atau ADB dan Bank Dunia. Hun Sen berutang untuk memperkuat dukungan baginya dan terpuruknya perekonomian Kamboja setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada negara itu. Berikut petikan lengkap wawancara Tempo saat Rainsy berkunjung ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta, Senin 16 Maret 2018.
Baca: Oposisi Kamboja Sam Rainsy Minta Dukungan Jepang
Mantan Pemimpin Oposisi Kamboja, Sam Rainsy, saat kunjungan ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, 16 April 2018. TEMPO/Fajar Januarta
Bagaimana situasi politik terkini di Kamboja?
Rakyat Kamboja bersiap mengikuti pemilihan nasional pada 29 Juli mendatang. Pemerintah Hun Sen takut terhadap oposisi yang semakin kuat. Karena itu dia melakukan apa pun, termasuk menahan dan memenjarakan penerus saya, Kem Sokha. Dia juga membubarkan CNRP agar tak bisa ikut pemilihan. Sebanyak 118 tokoh CNRP dilarang berpolitik selama 5 tahun.
Apa yang Anda lakukan setelah partai Anda dibubarkan?
Kekuatan oposisi sekarang habis. Mereka boleh menghancurkan partai kami, tapi semangat kami masih terus ada. Yang dapat kami lakukan sekarang adalah menyerukan boikot pemilihan umum. Kami juga menggalang dukungan dari komunitas internasional untuk memberi tekanan pada Hun Sen. Jika Hun Sen memulihkan kembali partai kami, kami akan menarik seruan boikot.
Mantan Pemimpin Oposisi Kamboja, Sam Rainsy, saat kunjungan ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, 16 April 2018. TEMPO/Fajar Januarta
Baca: Sam Rainsy: Tanpa Oposisi Kamboja dalam Ketidakpastian
Sekuat apa partai oposisi yang pernah Anda pimpin?
Separuh dari jumlah pemilih di Kamboja mendukung partai kami. Hun Sen sekarang tanpa oposisi, karena kami satu-satunya partai oposisi yang kredibel.
Jadi, pemilihan umum Kamboja hanya diikuti partai penguasa, Partai Rakyat Kamboja?
Sebelumnya hanya ada dua partai di Majelis Nasional, partai kami dan partainya Hun Sen. Kini Hun Sen membentuk partai-partai kecil, jumlahnya 10-20 partai, yang menyatakan akan ikut dalam pemilihan. Padahal sebenarnya mereka semua bakal mendukung Hun Sen.
Seberapa besar pengaruh Cina di Kamboja?
Pemerintah Kamboja saat ini sangat bergantung pada Cina setelah dijatuhi sanksi oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Cina memanfaatkan Hun Sen untuk memecah belah ASEAN agar tidak mengeluarkan satu suara soal sengketa Laut Cina Selatan. (Negara-negara ASEAN yang terlibat dalam sengketa di Laut Cina Selatan dengan Cina adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Filipina). Keputusan ASEAN dibuat berdasarkan kompromi, kesepakatan bersama.
Mengapa Anda mengunjungi Jepang?
Jepang telah lama menjadi negara donor terbesar bagi Kamboja. Berbeda dengan Amerika Serikat dan 21 negara anggota Uni Eropa, Jepang masih menjalin hubungan dengan Hun Sen. Jepang bisa membantu memulihkan demokrasi di Kamboja. Sebab, menurut Jepang, pemilihan umum di Kamboja kali ini tidak berarti karena tidak ada oposisi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Peran Indonesia tidak kalah penting. Bersama Prancis, Indonesia adalah ketua bersama Konferensi Internasional Untuk Kamboja pada akhir 1980. Indonesia bahkan menjadi tuan rumah pertemuan Jakarta Informal Meeting I dan II untuk menengahi empat kelompok yang bertikai di Kamboja. Hasilnya adalah Kesepakatan Damai Paris pada 1991, yang memastikan Kamboja mengikuti jalur untuk jadi negara demokratis dengan menggelar pemilu yang bebas.
Apa yang dapat dilakukan oleh Indonesia?
Saya berharap pemerintah Indonesia dapat mempromosikan pola pikir demokratis kepada Kamboja. Tidak ada pemimpin yang berkuasa selamanya. Tidak ada yang berhak memimpin sebuah negara seterusnya. Tapi Hun Sen berencana untuk berkuasa hingga umurnya 90 tahun. Dia tidak mendengar suara rakyat. Siapa yang berkuasa, itu tergantung keputusan rakyat.