TEMPO.CO, Yogyakarta - Dua organisasi masyarakat Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, berbeda pandangan dalam menyikapi pelarangan penggunaan cadar di lingkungan kampus.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, Azman Latif, menilai pelarangan cadar di kampus merupakan kebijakan yang dangkal. Sebab, penggunaan cadar merupakan aktualisasi keyakinan atas ajaran agama yang dipahami dan tidak ada kaitannya dengan bibit radikalisme. “Cadar itu kan hanya simbol,” kata Azman di Yogyakarta seperti dimuat Koran Tempo, Rabu, 7 Maret 2018.
Azman mengatakan tak ada jaminan pelarangan penggunaan cadar bisa menghapus bibit radikalisme. Menurut dia, menghapus benih radikalisme lebih efektif dengan memberikan pengertian kepada masyarakat yang menyentuh hati dan pikiran. Bukan dengan membatasi pakaian yang ingin digunakan. Apalagi pilihan untuk menggunakan cadar tak bisa dikaitkan langsung dengan tingkat pemahaman seseorang dalam menjalankan ajaran agama. “Kan bisa saja di dalam kampus cadar dilepas, di luar dipakai lagi,” katanya.
Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY, Nizar Ali, tak mempermasalahkan pelarangan itu. Menurut dia, kampus boleh melarang mahasiswinya menggunakan cadar karena memiliki otonomi sebagai perguruan tinggi yang dilindungi undang-undang.
Nizar mengatakan pelarangan cadar dalam kampus itu merupakan hasil keputusan yang berbasis ijma’ (kesepakatan menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-Quran dan hadis) di lingkup senat universitas. “Pelarangan cadar itu sudah sesuai dengan visi-misi kampus itu yang mengajarkan Islam moderat,” ujarnya.
Kebijakan pelarangan menggunakan cadar di kampus ini diterbitkan oleh kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dasar pelarangan ini adalah surat yang ditandatangani Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, tertanggal 20 Februari 2018. Beleid ini muncul setelah beredar foto mahasiswi bercadar mengibarkan bendera Hizbut Tahrir Indonesia—organisasi Islam yang telah dibubarkan pemerintah karena dianggap menentang Pancasila.
Hingga akhir Februari 2018, kampus mendata ada 41 mahasiswi yang mengenakan cadar. Yudian menjelaskan bahwa pihak kampus telah membentuk tim pendampingan bagi mereka ini. “Jika sudah dibina melalui tujuh tahapan itu namun tetap menggunakan cadar, mereka dipersilakan keluar dari UIN Sunan Kalijaga,” kata Yudian.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir meminta pihak universitas tak mengganggu hak mahasiswi menggunakan cadar. Menurut dia, mengenakan cadar adalah hak setiap orang. "Itu kan hak orang, jangan sampai diganggu gugat, yang penting itu saja. Dia mau jilbab, mau ini, silakan, itu hak orang," katanya.
Meski begitu, Kementerian tidak mengeluarkan keputusan apa pun terkait dengan kebijakan UIN Sunan Kalijaga lantaran larangan mengenakan cadar adalah kebijakan rektorat. "Saya serahkan rektor mengurus hal seperti itu," kata dia.
PRIBADI WICAKSONO