TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri dugaan keterlibatan Setya Novanto dalam dalam perkara korupsi proyek satelit monitoring Badan Keamanan Laut (Bakamla). Jaksa menanyakan tentang munculnya inisial “SN” pada bukti percakapan antara bos perusahaan penyedia barang dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Rabu, 31 Januari 2018, giliran politikus Partai Golkar, Fayakhun Andriadi, dimintai penjelasan tentang percakapan yang diduga dilakukan olehnya dengan Managing Director PT Rohde and Schwarz, Erwin Arif. “Siapa itu Onta, SN, dan Kahar?” kata jaksa penuntut umum KPK, Kiki Ahmad, seperti dimuat Koran Tempo edisi Kamis, 1 Februari 2018.
Baca juga: Setya Novanto Curhat Dirinya Sekarang seperti Anak Kos
Faykahun menampik pernah berkomunikasi dan meminta duit kepada pemenang tender dua proyek di Bakamla. Dia pun enggan menanggapi perihal inisial SN yang tercantum dalam bukti komunikasi dengan Erwin tersebut. “Saya tidak pernah tulis pesan seperti itu. Saya dicatut,” kata Fayakhun. “Dan, kalau yang saya lihat ini data digital copypaste, bukan natural.”
Sidang itu digelar untuk terdakwa Nofel Hasan, bekas Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla. Nofel dijerat belakangan setelah KPK menangkap tangan penyuapan oleh bos PT Merial Esa Indonesia, Fahmi Darmawansyah—beserta dua anak buahnya, yaitu Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus—kepada Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi, pada Desember 2016.
Fahmi, Adami, Hardy, dan Eko divonis lebih dulu di pengadilan yang sama. Sedangkan berkas perkara seorang tersangka lainnya, yakni bekas Direktur Data dan Informasi Bakamla, Laksamana Pertama Bambang Udoyo, ditangani oleh polisi militer.
Fayakhun dipanggil sebagai saksi lantaran diduga ikut kebagian fulus. Berkas dakwaan Nofel menyebutkan Fayakhun diduga menerima fee sebesar US$ 927,7 ribu atau sekitar Rp 12,8 miliar dari Fahmi Darmawansyah untuk membuka blokir penganggaran drone dan satelit monitoring di Bakamla.
Jaksa mengantongi dua percakapan antara Fayakhun dan Erwin. PT Rohde and Schwarz yang dipimpin Erwin merupakan perusahaan vendor untuk proyek yang dimenangi Fahmi Darmawansyah ini. Percakapan pertama memuat informasi tentang adanya persetujuan nominal fee dari beberapa orang dengan inisial Onta, SN, dan Kahar. Sedangkan percakapan kedua memuat klaim Fayakhun bahwa dirinya ditegur SN karena fee belum dicairkan.
Dalam sidang sebelumnya, Erwin sempat mengklaim tak mengetahui dengan jelas siapa orang berinisial SN tersebut. Tapi dia menduga SN yang dimaksudkan adalah Setya Novanto lantaran duit setoran akan dipakai untuk modal Musyawarah Nasional Partai Golkar. “Kalau SN, dugaan saya Setya Novanto karena menyangkut Golkar,” kata Erwin.
KPK mencatat perusahaan Erwin menyiapkan uang US$ 300 ribu dari total fee yang harus dibayarkan kepada Fayakhun senilai US$ 900 ribu. Angka tersebut berasal dari kesepakatan fee dari proyek Bakamla senilai Rp 1,22 triliun yang terdiri atas drone Rp 720 miliar dan satelit monitoring Rp 500 miliar. KPK sempat mencegah Erwin dan politikus Partai Golkar tersebut ke luar negeri sejak 20 Juni 2017.
Politikus Golkar yang juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Bambang Soesatyo, membantah ada aliran duit korupsi proyek Bakamla ke Munas Partai Golkar di Bali ketika itu. Dia menilai Fayakhun bukanlah pengurus atau panitia pelaksanaan munas yang kemudian meloloskan Setya Novanto menjadi ketua umum menggantikan Aburizal Bakrie.
Meski begitu, dia mengakui, Fayakhun adalah tim sukses Setya. “Bisa saja dia menjual nama Golkar untuk mengambil keuntungan dari situ,” kata Bambang.
Setya Novanto juga mengaku terkejut namanya disebut dalam persidangan korupsi proyek Bakamla. Dia menuding ada orang yang menggunakan namanya untuk memperoleh keuntungan dalam pembahasan proyek tersebut di DPR. “Tidak tahu urusannya Bakamla. Saya tak mengerti, tak tahu, tak pernah berhubungan,” kata Setya yang kini didakwa dalam kasus megakorupsi proyek e-KTP.
ADAM PRIREZA | LANI DIANA