TEMPO.CO, Jakarta -Ribut-ribut pulau reklamasi Teluk Jakarta memasuki babak baru mengenai sertifikat hak guna bangunan (HGB). Selain peristiwa surat menyurat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke Badan Pertanahan Nasional, ada pula kontroversi penerbitan HGB yang dinilai kilat.
Pakar hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, Nur Hasan, menilai ada sejumlah hal yang membuat proses penerbitan sertifikat hak guna bangunan (HGB) Pulau D, Teluk Jakarta, berjalan cepat. "Ada tiga syarat dan prosedur untuk tanah hasil reklamasi," kata Nur Hasan dalam diskusi di Gado Gado Boplo, Jakarta Pusat, Sabtu, 13 Januari 2018.
Nur Hasan menjelaskan, permohonan hak pengelolaan lahan atas nama Pemerintah DKI sudah dimulai sejak Desember 2015. Ia menuturkan, baru pertengahan tahun kemarin pemerintah pusat menerbitkan HPL.
Baca : BPN Tolak Cabut HGB Pulau Reklamasi, Anies Baswedan Emoh ke PTUN
Sebagai konsekuensi penerbitan HPL, DKI wajib memberikan hak guna bangunan kepada pengembang reklamasi, dalam hal ini PT Kapuk Naga Indah. "Nah dalam proses permohonan itu ada permohonan HGB di atas HPL kemudian ada pendaftaran untuk mendapat sertifikat," ujarnya.
Dalam prosesnya, Nur Hasan menilai bahwa pekerjaan tersebut umumnya membutuhkan rentang waktu yang lama. Tahapannya, dia menyebutkan salah satunya pembuatan surat ukur. Untuk Pulau D, Badan Pertanahan Nasional Jakarta Utara tidak perlu lagi melakukan pengukuran. Sebab, sudah ada surat ukur yang dihasilkan saat pemerintah DKI meminta HPL.
Pakar Hukum Agraria dari Universitas Gadjah Mada, Nur Hasan, setelah diskusi soal reklamasi di Gado-Gado Boplo, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 13 Januari 2018. FOTO:Tempo/Friski Riana
Nur Hasan melanjutkan, dalam tahapan permohonan HGB, ada pemeriksaan lapangan oleh Panitia A. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Pulau D karena sudah ada pemeriksaan oleh Panitia A untuk HPL. "Cuma sekarang disesuaikan untuk HGB," ujarnya.
Selanjutnya, tahapan yang biasanya membutuhkan waktu adalah penetapan batas tanah yang mau disertifikatkan. Penetapan batas, kata dia, biasanya butuh persetujuan pemilik tanah yang berbatasan. Tetapi persetujuan itu tidak berlaku untuk HGB pulau reklamasi karena tidak memiliki tanah yang berbatasan.
Tahapan terakhir adalah pengumuman data fisik yang bisa menelan waktu 1-2 bulan. "Nah untuk pengumuman ini tidak perlu dilakukan dalam hasil reklamasi. Kalau reklamasi kan tidak mungkin ada yang klaim," katanya.
"Karena enggak perlu dilakukan, prosesnya lebih cepat. Sehari pun bisa. Karena tinggal data-data yang sudah ada, tidak tunggu pengumuman," kata dia.
Kantor Pertanahan Jakarta Utara sebelumnya menerbitkan HGB untuk Kapuk Naga Indah pada 24 Agustus 2017. Sertifikat itu terbit setelah Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) Pulau C, 276 hektare, dan Pulau D untuk pemerintah Jakarta. Penerbitan sertifikat dan hasil pengukuran pulau hanya berselang satu hari.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebelumnya memastikan tidak akan menggugat Badan Pertanahan Nasional yang menolak mencabut sertifikat hak guna bangunan (HGB) untuk pulau reklamasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Anies, pengadilan bukan satu-satunya cara untuk mencabut HGB atas lahan di pulau buatan di Teluk Jakarta itu.
"Semua bisa lewat PTUN, tapi itu bukan satu-satunya. Kalau memang ada instrumen lain, kenapa instrumen tersebut tidak dipakai?" kata Anies di gedung PKK Melati Jaya, Jakarta Selatan, kemarin.
Anies mengaku sudah menerima surat jawaban dari Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil, yang menolak mencabut ataupun menunda penerbitan HGB Pulau C, D, dan G. Pemerintah DKI, menurut Anies, sedang mempelajari isi surat dari Badan Pertanahan tersebut.
Simak juga : Korupsi Pulau Reklamasi, Polisi Akan Panggil Kadis Penanaman Modal DKI
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta mendesak Anies segera mencabut Peraturan Gubernur tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, E, dan G Teluk Jakarta. Menurut kuasa hukum Koalisi, Tigor Hutapea, pencabutan peraturan gubernur lebih mudah ketimbang meminta BON membatalkan sertifikat HGB pulau reklamasi.
Koalisi merujuk pada Peraturan Gubernur DKI Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E, serta Pergub DKI Nomor 137 Tahun 2017 tentang Panduan Rancang Kota Pulau G.
Adapun mantan anggota Tim Dewan Pakar Anies-Sandi Bidang Lingkungan, Reza Peter, mengatakan langkah lain yang bisa ditempuh Anies adalah mencabut izin pelaksanaan reklamasi Pulau C, D, G, F, I, dan K, yang diterbitkan oleh gubernur sebelumnya. Dasarnya adalah Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Keputusan itu menyebutkan pemberian izin pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta berada di Gubernur DKI Jakarta.
FRISKI RIANA | GANGSAR PARIKESIT