TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan optimistis Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan permohonan uji materi terhadap pasal ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold).
Salah satu penggugat, Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan aturan yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sangat jelas tak memenuhi asas keadilan dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. “Aturan ini sangat diskriminatif terhadap partai baru calon peserta Pemilihan Umum 2019,” kata Veri seperti dikutip Koran Tempo, Kamis, 11 Januari 2018.
Hari ini, MK akan memutus enam berkas perkara uji materi yang seluruh pemohonnya menggugat Pasal 222. Pasal ini menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi minimal 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat, atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
MK empat kali menolak uji materi terhadap aturan ambang batas pemilihan presiden. Namun, para penggugat menilai kondisi saat ini berbeda dengan sebelumnya. Sebab, Pemilihan Umum 2019 yang akan menggunakan undang-undang kali ini digelar serentak. Pencoblosan calon anggota legislatif berbarengan dengan pemilihan presiden. “Sehingga pasal presidential threshold tak relevan lagi,” kata Veri.
Pendapat senada juga diutarakan Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra yang juga menggugat pasal ini dalam berkas permohonan terpisah. Menurut dia, penolakan MK sebelumnya terjadi karena pemilu legislatif dan eksekutif tak digelar serentak. Dari aspek rasionalitas, kata dia, ambang batas akan sulit ditentukan bila pelaksanaan pemilu dilakukan serentak.
Diaturnya ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu yang baru sempat memanaskan situasi politik. Ketua Umum Partai Demokrat yang juga mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengutuk pasal tersebut.
Fraksi Demokrat dan Fraksi Gerindra melakukan aksi walk out dalam rapat paripurna mengesahkan UU Pemilu. Begitu pula Partai Amanat Nasional, yang belakangan menyebabkan mereka semakin dikucilkan di barisan partai pendukung pemerintah.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, berharap MK cermat memutus perkara ini. Jika merujuk Pasal 6A ayat 2 UUD 1945, kata dia, tak ada alasan MK menolak permohonan uji materi.
Pasal tersebut menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sedangkan sejumlah partai politik peserta Pemilu 2019 terbuka kemungkinan bukan peserta Pemilu 2014.
Feri khawatir MK akan semakin dicurigai tidak terbebas dari kepentingan politik jika menolak gugatan. “Kalau ada tafsir menyimpang, akan menimbulkan tanda tanya apalagi MK,” ujarnya. Dia mengingatkan, banyak negara dengan sistem presidensial dan demokrasi yang mapan tak lagi menerapkan ambang batas pencalonan presiden, termasuk Amerika Serikat.
Partai-partai pendukung diterapkannya presidential threshold memilih tak berkomentar banyak. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan akan menunggu hasil putusan MK hari ini. “Harapannya satu saja, putusan MK itu memuat pertimbangan hukum yang tuntas,” ujarnya.
DANANG FIRMANTO | AGOENG WIDJAJA