TEMPO.CO, Jakarta -Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru, Kementerian Dalam Negeri menargetkan pengisian kolom data agama bagi penganut kepercayaan bisa diterapkan dalam kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) pada bulan depan, Desember 2017 mendatang.
“Kami perlu waktu satu bulan setelah putusan Mahkamah Konstitusi, karena banyak yang harus dilakukan,” ujar Direktur Jenderal Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fachrulloh, ketika dihubungi Koran Tempo kemarin, Kamis 9 November 2017.
Menurut Zudan, hal yang pertama dilakukan adalah berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama. Sebab, ucap dia, data ihwal penganut kepercayaan berada di lembaga yang dipimpin oleh Menteri Muhadjir Effendy tersebut.
Baca : Penganut Aliran Kepercayaan Sambut Gembira Putusan MK
Sambil berkoordinasi, lanjut Zudan, Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil juga akan membenahi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan database kependudukan. Seperti, ucap dia, mendiskusikan kolom apa yang akan tertera dalam e-KTP nanti.
Menurut Zudan, saat ini sudah ada dua wacana yang muncul. Yakni, akan ditulis agama kepercayaan atau langsung ditulis nama agama lokal tersebut. Selanjutnya, ucap Zudan, Dukcapil juga akan mengubah standar formulis pengisian agama dalam e-KTP karena belum tercantum agama kepercayaan. “Setelah itu, kami sosialisasi di 514 kabupaten dan kota,” ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menambahkan, sejauh ini lembaganya tidak menemukan kesulitan untuk menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi. “Tapi kami perlu data penganut kepercayaan terlebih dahulu,” katanya.
Simak : Pasca-Putusan MK, DPR Bakal Revisi UU Administrasi Kependudukan
Keputusan menerapkan agama kepercayaan berawal dari uji materi Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 65 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Yang mengajukan adalah empat pemohon dari agama lokal yang berbeda, yaitu Nggay Mehang Tana, penghayat kepercayaan Marapu; Pagar Demanra Sirait, penghayat kepercayaan Parmalim; Arnol Purba, penghayat kepercayaan Ugamo; dan Carlin, penganut kepercayaan Sapt Dharma.
Para pemohon menilai aturan dalam empat ayat dalam dua pasal tersebut telah menimbulkan praktik diskriminasi yang melanggar Undang-Undang Dasar 1945 terhadap para penghayat kepercayaan di Indonesia.
Mereka kerap mengalami masalah dalam pengurusan dokumen administrasi kependudukan karena kosongnya kolom agama. Dampaknya, para penganut kepercayaan beserta keluarga kesulitan memperoleh hak pendidikan dan pekerjaan karena dituduh tak beragama atau ateis.
Belakangan, uji materi itu dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa 7 November 2017 lalu. Mahkamah menilai aturan pembatasan atas dasar keyakinan dengan mengosongkan kolom agama terbukti menyebabkan perlakuan berbeda dari masyarakat. Nantinya, tidak akan muncul diskriminas dengan tertulis agama kepercayaan.
Baca juga : Cerita Penganut Agama Lokal Jadi Korban Diskriminasi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengatakan akan menyerahkan data penganut kepercayaan kepada Kementerian Dalam Negeri dalam waktu dekat. Sayangnya, ia menuturkan saat ini belum tahu detail berapa jumlah agama lokal tersebut. “Itu di bawah Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi,” ujarnya.
Selain itu, Muhadjir menambahkan, ia siap dengan dampak putusan MK. Yakni, bisa dipindahkannya Direktorat Kepercayaan jadi di bawah Kementerian Agama, maupun masuknya pendidikan agama kepercayaan dalam kurikulum. Sebab, ucap dia, selama ini bagi siswa yang menganut agama lokal, ia hanya belajar melalui komunitas. “Tapi nanti tergantung berapa orang di sekolahnya,” katanya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan lembaganya akan mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. “Salah satunya adalah pelajaran agama dan guru untuk kepercayaan lokal,” ujarnya.
AHMAD RAFIQ | HUSSEIN ABRI