TEMPO.CO, Jakarta -Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan sejumlah proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) besar tidak akan beroperasi sesuai dengan target semula. Pemerintah dan PT PLN (Persero) pun harus merevisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik periode 2017-2026. "Seperti di Jawa, PLTU yang paling maju di Batang itu saja enggak bisa. Apalagi yang lain?" ujar Kepala Evaluasi Program Penyediaan Tenaga Listrik Kementerian Energi, Pramudya, Rabu, 1 November 2017.
Pramudya memperkirakan PLTU Batang di Jawa Tengah beroperasi pada akhir 2020. Rencana pengoperasian pembangkit berkapasitas 2 x 1.000 megawatt ini molor setahun dari target semula lantaran ada kendala dalam pelaksanaan konstruksi. Proyek ini dimiliki PT Bhimasena Power Indonesia.
Proyek PLTU lainnya yang akan tertunda berlokasi di Cirebon, Jawa Barat. Pramudya melaporkan, pengembang pembangkit tersebut, PT Cirebon Power, masih berunding dengan lembaga perbankan untuk menyelesaikan pendanaan. Persoalan itu membuat rencana pengoperasian fasilitas berkapasitas 1.000 MW itu molor dari target semula, yaitu pada 2020.
Selain dipicu persoalan operasi, revisi rencana kelistrikan disebabkan prediksi bahwa permintaan listrik hingga 2025 tidak sesuai dengan target. Sejak program 35 ribu MW diluncurkan, realisasi pertumbuhan penjualan listrik tidak pernah mencapai target dalam rencana usaha yang sebesar 8,3 persen per tahun. Lesunya pertumbuhan disebabkan laju perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 5 persen. "Kami harus mengoreksi rencana penambahan pembangkit," kata Pramudya.
Direktur Perencanaan PL, Syofvi Felienty Roekman, mengatakan revisi rencana usaha masih dibahas secara internal oleh perusahaan. Salah satu perubahan yang dibahas adalah target permintaan setrum. "PLN harus mengatur ritme agar tidak over," ujarnya.
Berdasarkan studi Institute for Energy Economics and Finance Analysis, PLN akan wajib membayar listrik sistem Jawa-Bali yang tidak terpakai sebesar 40 persen dari kapasitas terpasang pada 2019 sebesar Rp 219 triliun. Kewajiban ini berasal dari kontrak jual-beli listrik yang diteken PLN bersama pengembang PLTU swasta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan terus memantau kondisi keuangan PLN. “Kami terus pantau neraca PLN dari sisi kas dan kewajibannya," kata dia seusai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan di Jakarta, Selasa lalu.
Menurut dia, pemantauan ini dilakukan atas sepengetahuan Menteri Energi Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, dan Direktur Utama PLN Sofyan Basir. "Ini bukan masalah PLN semata, tapi juga reputasi nasional,” kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, Sri Mulyani meminta Menteri Rini dan Menteri Jonan merevisi megaproyek 35 ribu MW. Dia khawatir PLN tidak mampu membayar kewajiban yang semakin besar lantaran kas bersih operasionalnya melorot tiga tahun belakangan.
Pramudya menyatakan pemerintah tak akan mengurangi target kapasitas PLTU. Sebab, pembangkit bakal menyangga beban dasar sistem kelistrikan nasional. Justru, kata dia, pemerintah sedang mempertimbangkan penambahan pembangkit batu bara sebagai pengganti proyek pembangkit panas bumi yang diprediksi tidak sesuai dengan target.