TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan mempertanyakan opsi sistem kerja Detasemen Khusus Antikorupsi (Densus Antikorupsi) yang diusulkan Kepolisian RI. Mereka pun mencurigai arah pembahasan usul detasemen baru yang diduga akan melucuti peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, mengkritik opsi sistem satu atap Densus Antikorupsi yang akan menaungi perwakilan Polri, kejaksaan, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut dia, kepolisian dan kejaksaan bekerja atas dasar undang-undang berbeda. Sedangkan BPK diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. “Secara hukum tata negara tidak nyambung,” kata Hifdzil, Senin, 16 Oktober 2017.
Baca juga: Kejaksaan Menolak Bergabung dengan Densus Antikorupsi Polri
Munculnya opsi ini, menurut Hifdzil, semakin menunjukkan bahwa pembentukan Densus Antikorupsi tak disertai kajian yang komprehensif. Hifdzil pun mencurigai pembentukan detasemen ini ditunggangi agenda melemahkan KPK.
Kemarin, Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menyampaikan dua opsi sistem kerja Densus Antikorupsi. Pertama, sistem satu atap dengan Satuan Tugas Kasus Korupsi milik Kejaksaan Agung dan satu lembaga lain, kemungkinan BPK. Personel dari tiga lembaga dalam sistem satu atap ini akan bekerja secara kolektif kolegial. Sedangkan opsi kedua, Densus Antikorupsi akan bermitra dengan Satuan Tugas Kejaksaan. “Mungkin akan dibuat semacam perjanjian, dan itu yang akan kami pikirkan,” kata Tito.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Mappi UI), Ardery Ardhan Saputro, mengatakan sistem satu atap jelas bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sebab, kepolisian seolah berwenang melakukan penuntutan seperti jaksa. “Padahal Polri hanya bertugas sebagai penyelidik dan penyidik,” ujarnya. Di luar sistem kerja tersebut, Mappi UI juga mengkritik pembahasan di parlemen yang tak disertai dasar hukum keberadaan Densus Antikorupsi.
Jaksa Agung M. Prasetyo mendukung pembentukan Densus Antikorupsi. Tapi dia mengingatkan bahwa penuntut umum tidak mesti berada di bawah Densus. Kejaksaan, kata dia, akan mengaktifkan Satuan Tugas Kasus Korupsi. “Kalau nanti hasil Densus sudah sempurna, tidak perlu dikembalikan (berkas perkaranya),” kata Prasetyo menanggapi dalih bahwa sistem satu atap akan mencegah perkara bolak-balik dari penyidik ke penuntut.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian, mengatakan pembentukan Densus Tipikor bukan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Detasemen ini, kata dia, juga tidak untuk mengikis kewenangan kejaksaan. Ia menjelaskan Densus Antikorupsi akan menjadi pendukung KPK dan Kejaksaan dalam memberantas perkara rasuah.
Rapat koordinasi di Komisi Hukum yang semula terbuka, kemarin, berubah menjadi tertutup setelah Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK memaparkan presentasi mereka. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Desmond Junaidi Mahesa, mengatakan pembahasan rencana pembentukan Densus Antikorupsi akan berlanjut pada 23 Oktober mendatang. Topik yang belum dibahas kemarin antara lain berkaitan dengan sistem penggajian di Polri dan Kejaksaan Agung. “Ini harus dikoordinasikan,” ujar Desmond.