TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berupaya memutus mata rantai plagiasi di kampus. Langkah itu diambil setelah pihaknya menghentikan sementara Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Djaali, lantaran diduga mengelola program doktoral abal-abal hingga dugaan plagiasi.
Menurut Menteri Ristekdikti, Muhammad Nasir, tidak hanya urusan plagiasi, kementeriannya juga bakal merombak dan mengevaluasi secara menyeluruh mulai dari keanggotaan senat hingga sistem manajemen keuangan di tingkat perguruan tinggi. “Yang terjadi di UNJ jangan sampai terulang,” kata Nasir, Jumat, 29 September 2017.
Baca: Saatnya Menata Ulang UNJ setelah Rektor Djaali Dipecat
Juru bicara Forum Alumni UNJ, Ide Bagus Arif, mengatakan keputusan pemerintah memberhentikan Rektor UNJ sudah tepat. Ia ingin perkara yang membelit Djaali, termasuk pidana plagiasi, diusut tuntas. Nasir menilai plagiasi merupakan benteng moral dari perguruan tinggi. Jadi, dia sepakat persoalan itu harus diselesaikan. Menurut dia, perguruan tinggi tidak bisa menenggang plagiasi hingga 40 persen.
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, mengatakan plagiasi di perguruan tinggi bersumber dari sistem yang longgar. Dia menyarankan agar ada pengetatan bagi mahasiswa pada tingkat pascasarjana dalam pengerjaan tugas akhir. “Plagiasi terjadi karena bimbingannya yang tidak intens,” katanya. Darmaningtyas mengatakan ada kecenderungan perguruan tinggi mengejar target lulusan sebanyak-banyaknya. Tak terkecuali, kata dia, di UNJ. Padahal, ujar dia, pemikiran itu memicu tingginya plagiasi dalam penyusunan karya ilmiah.
Baca: Rektor UNJ Dilaporkan ke Ombusdman Terkait Praktik KKN
Darmaningtyas mencontohkan, adanya pembimbing yang menangani mahasiswa lebih dari kapasitasnya juga mampu menjadi faktor pendorong praktik plagiasi. Dia menyarankan, untuk jenjang S-3 pada penulisan disertasi, sebaiknya satu pembimbing menangani maksimal lima mahasiswa. Sedangkan untuk S-2, satu dosen bisa membimbing maksimal 10 orang. “Tergantung kesibukan promotor,” kata dia.
Darmaningtyas juga menyoroti saat ini belum ada teknologi yang dikembangkan untuk mendeteksi adanya plagiasi dalam penulisan karya ilmiah. “Sekarang agak susah mendeteksi karena menyalin begitu mudah dilakukan,” katanya. Kementerian, kata dia, harus mulai mendorong setiap perguruan tinggi memiliki teknologi untuk mendeteksi plagiasi. Misalnya dengan melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
MUHAMMAD KURNIANTO, AHMAD FAIZ