TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan modus sejumlah kepala daerah mengumpulkan modal untuk menutup ongkos pilkada. Ada juga kepala daerah inkumben yang menghimpun dana untuk dipakai modal mencalonkan kembali dalam pilkada dengan target menjabat untuk periode kedua.
Pencarian uang untuk modal politik itulah yang belakangan terungkap lewat operasi tangkap tangan (OTT) KPK. “Indikasinya, mereka melakukan korupsi untuk modal politik,” kata Ketua KPK Saut Situmorang kepada Tempo, Minggu, 24 September 2017.
Para kepala daerah yang terindikasi korupsi itu bahkan telah mendapatkan pendampingan pencegahan dari KPK. Pendampingan itu diharapkan mereka tidak korupsi dan dengan kesadaran membangun integritas di lingkungan pemerintah daerah.
Menurut Saut, apabila kepala daerah buruk integritasnya, peluang untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme ketika terpilih kembali sangat besar. “Kami mengajak publik agar tak memilih calon yang tak memiliki integritas,” kata Saut.
Tahun ini, KPK menangkap sejumlah kepala daerah. Terakhir, KPK menangkap Wali Kota Cilegon Imam Ariyadi pada Jumat, 21 September 2017. Kepala daerah yang lebih dulu ditangkap adalah Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Wali Kota Tegal Siti Mashita Soeparno, dan Bupati Batu Bara O.K. Arya Zulkarnaen.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan modus korupsi Imam Ariyadi, yaitu memperdagangkan pemberian rekomendasi analisis dampak lingkungan proyek Mal Transmart. Penyidik menyita uang tunai Rp 1,152 miliar dari penangkapan ini. Uang sejumlah itu terdiri atas Rp 800 juta dari PT BA dan Rp 352 juta dari PT KIEC.
Basaria mengatakan uang dari PT KIEC merupakan sisa dari setoran yang berjumlah Rp 700 juta. “Suap ini menggunakan modus baru dengan menyamarkan uang sebagai dana corporate social responsibility (CSR) dua perusahaan tersebut ke rekening klub sepak bola daerah,” kata dia.
Imam terpilih menjadi Wali Kota Cilegon untuk periode 2016–2021. Ayahnya, Aat Syafa’at, yang juga pernah menjadi wali kota yang sama, merupakan terpidana kasus korupsi proyek pembangunan dermaga trestle Kubangsari pada 2012. Imam membantah menerima suap.
Imam mengklaim transfer itu untuk klub sepak bola daerah. “Itu sponsor liga sepak bola Cilegon. Uang langsung ditransfer. Kami tak menerima apa pun berkaitan soal uang dan gratifikasi,” kata Imam mengelak.
Koordinator Investigasi Indonesia Corruption Watch, Febri Hendri, mengatakan kecenderungan korupsi kepala daerah masih berkaitan langsung dengan dana yang digunakan untuk pemenangan pada pemilihan. Menurut dia, sebagian besar dana korupsi menjadi modal para inkumben untuk memenangi kontestasi selanjutnya. “Kepala daerah yang tak bisa lagi mencalonkan diri, uang korupsi itu untuk modal kerabatnya yang maju pilkada. Ada juga untuk dana pensiun,” kata Febri.
Berikut ini hasil OTT KPK sejumlah kepala daerah dalam beberapa bulan terakhir.
Ridwan Mukti
Jabatan: Gubernur Bengkulu
Dugaan suap: proyek jalan di Muara Aman senilai Rp 37 miliar; peningkatan jalan Curug–Air Dingin, Rejang Lebong, senilai Rp 16 miliar; dan fee Rp 4,7 miliar. Ridwan dan istrinya, Lily Martiana Maddari, ditangkap pada 21 Juni.
Achmad Syafii
Jabatan: Bupati Pamekasan
Dugaan suap: proyek pembangunan di Desa Dassok senilai Rp 100 juta dan fee Rp 250 juta. Syafii bersama Kepala Desa Dassok Agus Mulyadi diduga menyuap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya untuk menghentikan penanganan dugaan korupsi dana desa yang sudah naik ke tahap penyidikan. Ketiganya ditangkap pada 1 Agustus lalu.
Siti Masitha Soeparno
Jabatan: Wali Kota Tegal
Dugaan suap: pengelolaan dana jasa pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal pada 2017, pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah daerah Kota Tegal pada 2017, dan penerimaan gratifikasi dari sejumlah kepala daerah Rp 5,1 miliar. KPK menduga Siti menghimpun miliaran rupiah untuk maju kembali dalam pemilihan kepala daerah Kota Tegal 2018. Penyidik juga menangkap calon wakil wali kota pendamping Siti sekaligus politikus Partai NasDem, Amir Mirza Hutagalung, pada 29 Agustus lalu.
O.K. Arya Zulkarnaen
Jabatan: Bupati Batu Bara
Dugaan suap: proyek infrastruktur di Kabupaten Batu Bara senilai Rp 32 miliar, peningkatan dan pembetonan jalan senilai Rp 3,2 miliar, proyek fisik lainnya senilai Rp 12 miliar, dan fee lebih dari Rp 4,4 miliar. Ia ditangkap pada 13 September lalu.
Eddy Rumpoko
Jabatan: Wali Kota Batu
Dugaan suap: proyek belanja modal dan mesin mebel periode anggaran 2017 senilai Rp 5,26 miliar dan fee Rp 500 juta, KPK menangkap Direktur PT Dailbana Prima Filipus Djap setelah mengantar suap bagi Eddy Rumpoko dan panitia lelang proyek, Edi Setyawan, pada 17 September lalu. PT Dailbana tercatat sebagai pemenang tender.
FRANSISCO ROSARIANS