TEMPO.CO, Jakarta - Pembubaran paksa seminar tentang sejarah 1965 yang diselenggarakan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) dinilai telah melanggar aturan kebebasan berpendapat yang dilindungi undang-undang. Ketua LBH Jakarta, Alghifari Aqsa, mengatakan lembaganya sedang mempertimbangkan akan menggugat Polri ke pengadilan perdata atau Pengadilan Tata Usaha Negara atas pembubaran paksa tersebut. “Supaya pelarangan yang sama tak berulang,” kata Alghifari kepada Tempo, Minggu, 17 September 2017.
Pada Minggu malam itu sekitar pukul 21.00 hingga Senin dinihari, 18 September 2017 ratusan massa datang mengepung gedung LBH. Mereka meneriakkan ancaman mengerikan, melakukan stigma dan tuduhan-tuduhan tidak berdasar. Sebagian massa mencoba masuk, melempar batu dan memprovokasi agar terjadi kerusuhan.
Baca: Warga yang Terkurung di Kantor LBH Jakarta Dievakuasi
YLBHI semula merencanakan seminar bertema “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 65/66” di kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, pada Sabtu siang pekan lalu. Namun, sejak Sabtu pagi, kantor bantuan hukum untuk publik itu diblokade puluhan polisi dari Polsek Menteng. Para peserta seminar, yang didominasi orang tua penyintas peristiwa 65 dan pegawai LBH, dilarang masuk.
Suasana bertambah panas karena dua organisasi massa sempat mendemo LBH Jakarta di tengah represi polisi itu. Puluhan orang yang menyatakan diri dari Laskar Merah Putih dan Front Pembela Islam menuntut acara dibubarkan karena menduga ada diskusi untuk menyebarkan paham komunisme. Polisi pun memaksa masuk ke gedung LBH dan mencopot spanduk pada sore harinya, hingga akhirnya panitia memutuskan seminar sejarah itu ditunda.
Represi oleh polisi itu dinilai melanggar Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Menurut Alghifari, tak ada alasan bagi kepolisian membubarkan diskusi, karena LBH telah mendapat izin dari Markas Besar Polri dan membolehkan perwakilan polisi mengikuti acara tersebut.
Baca Juga: Ngeri, Demonstran Lempari Kantor LBH Jakarta
Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, mengatakan tindakan polisi pada Sabtu lalu menunjukkan kualitas demokrasi Indonesia semakin rendah. “Kita sedang diarahkan kepada mobokrasi. Negara bukan lagi berdasarkan hukum tertulis tapi bergantung pada kata orang-orang tertentu yang dapat memobilisasi massa dengan uang yang besar,” katanya.
YLBHI dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lain mengecam keras represi tersebut. Menurut catatan mereka, sepanjang tahun ini ada 19 insiden intimidasi dan pembubaran paksa kegiatan diskusi oleh polisi. Sebanyak 12 di antaranya adalah diskusi edukasi tentang pembantaian 1965-1966.
YLBHI menggelar kegiatan seni di LBH Jakarta untuk menunjukkan publik tak akan mempan diintimidasi penguasa. Kegiatan bertema “Asik-asik Aksi” itu diisi pembacaan puisi, musik, dan komedi tunggal dengan dihadiri penyintas peristiwa 65 dan kalangan lainnya. Meski acara itu hanya kegiatan seni, belasan polisi masih berjaga di kantor LBH Jakarta.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Argo Yuwono, berdalih seminar sejarah 1965 di LBH dilarang karena tak mempunyai izin. “Tidak ada pemberitahuan dari panitia kepada kepolisian,” kata Argo. Menurut dia, polisi memutuskan tetap mengawal berbagai aksi di LBH hingga kemarin agar tertib.
DANANG FIRMANTO | DEWI NURITA | ARKHELAUS WISNU | ZARA AMELIA | INDRI MAULIDAR