TEMPO.CO, Jakarta - Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi kembali terjadi. Ini bermula ketika lembaga antirasuah itu menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek simulator pembuatan surat izin mengemudi.
Tak mau kecolongan, polisi ikut-ikutan ngotot mengusut kasus dugaan korupsi yang melibatkan salah satu jenderalnya. Di saat yang sama, Polri juga berniat menarik 20 penyidiknya yang bertugas di KPK. Cara inilah yang dianggap banyak pihak sebagai usaha untuk melemahkan KPK.
Ditambah lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seolah tak cepat tanggap atas perang dingin dua lembaga ini. Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Yenti Ganarsih, mengatakan sikap abai itu terlihat dari diamnya Presiden atas sejumlah gempuran yang mendera KPK. “Dia ikut andil membiarkan semuanya kacau dan tak menentu,” kata Yenti kepada Tempo, Minggu 30 September 2012.
Tak hanya perlawanan dari polisi, gempuran Dewan Perwakilan Rakyat juga tak kalah garang. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Arif Nur Alam, mengatakan upaya pelemahan KPK juga dilakukan DPR yaitu dengan menolak pembangunan gedung, memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit kinerja KPK, dan membonsai kewenangan KPK dalam revisi Undang-Undang KPK.
Diantaranya melalui beberapa poin antara lain pembentukan Dewan Pengawas KPK yang ditunjuk DPR, pengembalian fungsi penuntutan KPK ke Kejaksaan Agung, penyadapan harus dengan persetujuan pengadilan, dan pemberian kewenangan penghentian perkara melalui surat perintah penghentian penyidikan.
Anehnya, kata Arif, Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina Demokrat diam saja melihat anggotanya di DPR mendukung pelemahan itu. “Dia seharusnya memerintahkan anggotanya memperkuat KPK.
Pengamat hukum dari Masyarakat Pengamat Peradilan Universitas Indonesia (Mappi), Choky Ramadhan, menilai sikap diam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam penanganan kasus suap simulator ujian SIM kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi.
“Sikap diam Istana wajib dicurigai, karena pada akhirnya menyebabkan sengketa penanganan kasus jadi berlarut-larut. Yang senang dan diuntungkan di sini kan koruptor,” kata dia.
Mappi mencatat Presiden SBY sudah berulang kali bersikap tidak tegas dalam persoalan penegakan hukum yang melibatkan KPK. Selain kasus ini,, sebelumnya Presiden juga dianggap pernah abai dalam kasus “Cicak versus Buaya”.
Presiden, menurut Choky, sejak awal semestinya sudah mengambil peran dengan melarang Kepala Polri sebagai bawahannya, menyidik kasus simulator SIM. Namun karena kasus itu telanjur bergulir di Kepolisian, maka yang bisa dilakukan Presiden adalah menitahkan Jaksa Agung menolak berkas polisi.
Tak cuma itu, Presiden juga dianggap belum secara tegas menolak revisi Undang-Undang KPK yang dinilai berpotensi melemahkan kinerja lembaga tersebut.
Politikus Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin membantah semua pendapat itu. Menurut dia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak akan membiarkan pihak mana pun menyerang KPK. “Presiden sikapnya jelas tak akan membolehkan adanya pelemahan KPK,” kata Ketua DPP Bidang Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum Partai Demokrat ini.
Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan Presiden terus mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam negeri. Tapi Presiden belum akan memanggil Kepala Kepolisian. Istana pun masih menunggu proses pembahasan revisi Undang-Undang KPK. “Bagaimanapun, pembahasan itu bersama DPR. Nanti dielaborasi pembahasannya,” kata Julian.
ISMA SAVITRI | AYU PRIMA SANDI | IRA GUSLINA | ARYANI KRISTANTI | PRAMONO | MUNAWWAROH
Berita terkait:
KPK: Pelemahan KPK Memang Maunya Oknum di DPR
Pangkas Kewenangan KPK, DPR Dinilai Lucu
Demokrat Bantah Lemahkan KPK
Penyidik KPK yang Ditarik Mengaku Diteror