TEMPO.CO, Jakarta -Tawuran menyeret korban luka, sudah jadi cerita di Jakarta. Tapi tawuran selama dua hari dengan korban tewas masih belia, akhirnya menyentak warga Ibukota. Pada Senin, 24 September 2012 sekitar pukul 12.15 sejumlah pelajar SMA 70 menyerang sejumlah pelajar SMAN 6 di Bunderan Bulungan. Alawi Yusianto Putra tewas dalam insiden tersebut karena luka bacok di bagian dada.
Tak hanya sekolah, orang tua, siswa, polisi dan pemerintah mulai berbenah dan mengkaji ulang tentang penyebab baku serang antara pelajar ini. Dari kepolisian, kini mereka menyatakan tak akan sekedar merazia para pelajar.
Kepala Kepolisian Sektor Koja Komisaris I Gede Made Seli Pudja Wijaya sengaja mengumumkan nomor ponsel pribadinya kepada seluruh siswa dan pengajar SMK Walang Jaya. "Supaya mereka bisa lebih dekat dengan kami dan mampu memberikan informasi terjadinya tawuran," ujarnya Selasa, 2 Oktober 2012.
Seli mengklaim upaya deklarasi, pembinaan berkala, dan pemberian nomor ponsel miliknya ke pelajar mampu menekan terjadinya tawuran di wilayah Koja. Namun, ia menambahkan, tingkat kriminalitas yang melibatkan remaja di bawah usia 20 tahun masih marak terjadi.
Kemarin, SMA 70 sudah mendeklarasikan penghapusan kekerasan fisik di internal sekolah. Ketua OSIS SMAN 70 Candrika Sagita Sari menyebutkan siswa harus menyalurkan energi buat hal positif. "SMA mana lagi yang bisa buat pensi (pentas seni) sebesar GK (Gelar Kreativitas)? Cup sebesar Bulungan Cup?" Candrika mengompori teman-temannya.
Candrika yang didampingi Ketua Perwakilan Kelas Fauzan Ramadhan menceritakan bahwa awal kekerasan ada di sekolah. Ada penanaman persepsi bahwa SMAN 70 adalah miniatur kehidupan. Jadi, harus bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Persepsi ini diterjemahkan oleh setiap siswa bahwa harus merasakan ''pendidikan'' secara fisik oleh seniornya.
"Sekarang masih ada main fisik. Semua pernah ngalamin, pernah ''dididik'' kakak kelas," kata Fauzan. Kini, mereka bertekad mengganti ''didikan'' itu. "Pokoknya enggak ada lagi main fisik."
Janji dan komitmen tersebut adalah pembuktian yang harus dilihat di masa depan. Bagi keluarga Alawi, semuanya itu tidak berarti ketimbang hukuman setimpal bagi FR, pelaku pembacokan. Tauri Yusianto berharap pelaku, "Dihukum seberat-beratnya. Kalau bisa dihukum mati atau seumur hidup," kata Tauri saat ditemui di Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, kemarin
Tauri menyatakan puas jika FR benar dihukum hingga 15 tahun kurungan penjara. "Kalau pas 15 tahun hukumannya, saya puas," ujarnya. Tauri juga mengatakan belum akan memaafkan pelaku yang sudah membunuh anak bungsunya tersebut. "Saya sudah ikhlaskan kepergian anak saya, tapi belum tentu memaafkan pelaku."
Kisah Alawi, menurut polisi karena posisi yang terjepit. Saat penyerangan, kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Hermawan, posisi Alawi berada di dekat Fitrah dan Fitrah langsung membacok Alawi. Alawi berada di posisi paling dekat dengan Fitrah. “Alawi dibacok saat hendak lari," ujar Hermawan. Berdasarkan keterangan 6 siswa SMAN 70 itu, kata dia, Alawi ikut dalam saling serang tersebut.
JAYADI SUPRIADIN | ATMI PRATIWI | AFRILIYIANI SURYANIS | DIANING SARI
Berita Terkait
Cara SMAN 70 Hapus Budaya Tawuran
Daerah Rawan Tawuran di Jakarta Selatan
Hanya 6 Siswa SMAN 70 yang Penuhi Panggilan Polisi
Ruangan Musik Mengenang Alawy
Ayah Alawy Belum Bisa Memaafkan Fitrah