TEMPO.CO, Jakarta -Dalam rentang waktu 10 bulan, warga Lampung mengalami deretan bentrokan. Pertama terjadi di Dusun Napal, Sidomulyo, Lampung Selatan, pada Januari 2012. Akibatnya, 63 rumah warga hangus terbakar.
Pertentangan kedua pecah antar penduduk desa Umbul Tebu dan Pematang Halo, Kecamatan Jabung, Lampung Timur, pada Jumat, 27 September 2012. Dampaknya, lima orang terluka tembak, 12 rumah dibakar, dan 15 bangunan lainnya rusak berat.
Konflik teranyar melibatkan ribuan orang di Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan, Sabtu, 27 Oktober 2012. Buntutnya 14 orang tewas, 9 korban luka parah, 166 rumah dibakar massa, 26 rumah rusak berat, 11 sepeda motor dan dua mobil dibakar.
Menurut Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Mochtar Masoed, bentrokan di Lampung menunjukkan bila pemerintah daerah tidak mampu mengantisipasi konflik. Alasan dia, pertentangan di Lampung bukan hal baru. Tapi sudah terjadi berkali-kali.
“Mestinya Pemda Lampung mengambil inisiatif cepat,” kata Masoed, Kamis, 1 November 2012. “Mereka bisa memanfaatkan data intelejen kepolisian dan militer di daerahnya untuk mengeluarkan kebijakan prevetif konflik kekerasan.”
Kawasan transmigrasi seperti Lampung Selatan, Masoed melanjutkan, kerap menyimpan bara konflik. Sebab pemerintah daerah tidak memiliki skema pembangunan yang mempertimbangkan efek perubahan sosial dan ekonomi.
Kata peneliti konflik sosial PSKP UGM, Syamsul Rizal Panggabean, Pemerintah Daerah Lampung Selatan harus bergerak cepat meredam konflik. Seperti menggelar pertemuan rekonsiliasi. Tak cuma itu. Pemerintah juga harus mengganti kerugian korban. “Dengan begitu, dendam antar warga bakal cepat surut,” kata Rizal.
Menurut Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, I Gede Pasek Suardika, bentrokan antarwarga Lampung merupakan kegagalan aparat dalam deteksi dini. Akibatnya, konflik mudah tersulut hingga jatuh korban jiwa. "Harus diakui, aparat gagal melaksanakan tugasnya," kata Pasek, Selasa, 30 Oktober 2012.
Konflik di Lampung, dia melanjutkan, seharusnya dapat dideteksi sejak awal. Karena pertentangan ini bukan kali pertama melanda Lampung. Pasek juga mempertanyakan tidak adanya perlengkapan antihuru-hara dalam konflik Balinuraga. “Seharusnya perlengkapan itu dihadirkan di TKP," ujarnya.
Disalahkan begitu, Kepala Kepala Kepolisian Daerah Lampung Brigadir Jenderal Jodie Rooseto membela diri. Ia bantah anggapan polisi kecolongan dalam bentrokan warga di Balinuraga. Kata dia, konflik sulit dicegah karena lokasi bentrokannya sangat luas. ''Banyak pintu masuk dan jalan tikus menuju desa itu,” ujar Jodie. “Polisi terkonsentrasi di jalur utama masuk desa. Sementara ribuan orang sudah mengepung desa itu.”
Namun pembelaan Jodie menguap begitu saja. Sebab Markas Besar Kepolisian Indonesia mengeluarkan keputusan untuk menganulir promosi jabatannya. Jodie batal menjadi Kapolda Jawa Barat.
Di Bali, pesan singkat untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beredar melalui telepon genggam BlackBerry. Isinya, “Bapak Presiden kami capek dengan semua ini.. ingin rasanya kami menjadi bagian dari negara AMERIKA/ AUSTRALIA, karena kami rasa mereka lebih bisa menerima kami.”
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Bali I Gusti Ngurah Sudiana menyayangkan penyebaran pesan beranonim pengirim itu. Menurutnya, semangat persatuanlah yang harus dikobarkan pada saat ini. “Warga Bali di Lampung harus saling memaafkan. Sebab korbannya bukan warga Bali saja, tapi juga penduduk setempat,” ujarnya.
KETUT EFRATA | ADDI MAWAHIBUN IDHOM | NUROCHMAN ARRAZIE | WAYAN AGUS PURNOMO | CORNILA DESYANA
Berita Terkait
Pemicu Bentrokan Lampung Versi Penduduk
Polri: Pengungsi Lampung Selatan Berangsur Pulang
Bentrok Lampung, Begini Tanggapan Menteri Gamawan
Warga Bali Kecam Kerusuhan di Lampung Selatan
Kasus Lampung Selatan, Tokoh Adat Sepakat Berdamai
Sedikitnya 6 Tewas kala Bentrok di Lampung Selatan