TEMPO.CO, Kota Gaza - Pemerintah Israel tak hanya menghancurkan infrastruktur dan sarana kehidupan utama masyarakat Gaza, tapi berusaha juga memutus mata pencaharian kota kecil itu dengan cara apa pun. Begitulah yang dialami Ahmed Soboh, 28 tahun, seorang nelayan kota Gaza.
Ia menarik hasaka, perahu kecil khas Palestina, ke tepi pantai di Jalur Gaza. Sebuah harpun, sejenis tombak berukuran kecil, sudah siap di samping perahu. Bercelana basket biru dengan kaus tanpa lengan, hari itu Soboh hendak berangkat menangkap ikan.
“Saya senang berada di laut,” kata Soboh, Selasa lalu. “Tapi laut bisa jadi berbahaya jika Anda tidak hati-hati. Terutama di waktu-waktu seperti ini.”
Sepekan terakhir, situasi di Jalur Gaza, Palestina, memang mencekam. Kontak senjata antara kelompok Hamas dan tentara Israel terus terjadi. Lebih dari 1.400 roket ditembakkan dari wilayah Gaza hanya dalam waktu satu pekan. Militer Israel pun membalas dengan serangan roket tak putus-putus.
Meski maut mengintai setiap saat, sekitar 1,6 juta warga Palestina di Gaza berusaha hidup seperti biasa. Soboh bercerita bagaimana warga di kamp pengungsi dekat pantai mencoba melupakan perang di depan mata. Saban hari, pedagang buah menjajakan buah delima dan jeruk, meski tepat di samping gerobaknya ada rongsokan mobil yang hancur akibat bom.
Soboh memilih menangkap ikan. Dulu, tak kurang dari 5.000 warga Gaza menggantungkan hidupnya pada laut. Kini, hanya tinggal ratusan nelayan di sana. Jumlahnya menyusut terus. Apalagi kini pemerintah Israel melarang nelayan Palestina melaut lebih dari 300 meter dari bibir pantai. Padahal biasanya mereka biasa menangkap ikan sampai 5 kilometer dari darat.
Hari itu, keberuntungan memihak Soboh. Melaut sebentar, ia sudah mendapat ikan buri seberat 8 kilogram. Dia langsung menjualnya dan mengantongi 200 shekels (Rp 482,5 ribu).
Itu bukan uang yang sedikit untuk warga Gaza. Apa yang terjadi jika Soboh melaut terlalu jauh? “Mereka (tentara) akan menembak Anda atau membawamu ke Ashdod (sebuah kota di wilayah Israel) sebagai tahanan,” katanya pelan. “Memang tidak normal, tapi inilah Gaza.”
Soboh dan nelayan Palestina lain bermimpi tak ada lagi yang mengawasi laut, tempat mereka mencari makan. Dia berdoa agar gencatan senjata terjadi dan blokade laut Gaza dicabut. “Kami bisa punya kapal yang lebih besar, dermaga yang lebih baik,” kata Soboh, berangan-angan.
Beberapa menit kemudian, sebuah dentuman terdengar. Di angkasa, sebuah roket memecah langit. Soboh masih terus bercerita soal mimpinya. Di tengah perang sekalipun, orang ternyata masih bisa punya mimpi.
Memasuki hari kedelapan kontak senjata Israel-Hamas kemarin, gempuran roket Israel kembali menewaskan setidaknya 26 warga sipil dan anak-anak di Jalur Gaza, Palestina. Seruan agar dilakukan gencatan senjata, pembicaraan damai, dan kecaman dunia internasional tak menyurutkan serangan Israel.
Otoritas Palestina mengatakan, hingga kemarin, tembakan roket serta rudal dari pesawat tempur dan kapal perang Israel telah meluluhlantakkan tak kurang dari 1.500 target. Lebih dari 140 orang tewas, termasuk puluhan warga sipil dan 31 anak-anak. Sebagai balasan, kelompok Hamas melepaskan 1.408 roket ke wilayah Israel yang menewaskan lima warga Israel.
Kabar gembira datang Kamis, 22 November dini hari, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akhirnya setuju solusi adanya gencatan senjata untuk mengakhiri pertumpahan darah di wilayah Gaza. Solusi itu ditawarkan Mesir usai pertemuan Menteri Luar Negeri Mohammed Kamel Amr dengan Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton.
THE STAR | REUTERS | HAAREZT | AL-JAZEERA | AL MEZAN | RAJU FEBRIAN| DIANING SARI
Berita lain:
Pagi ini, Langit Gaza Bersih dari Rudal Israel
Israel - Hamas Setuju Gencatan Senjata di Gaza
Bentrok Israel-Palestina Meluas ke Hebron
Anak Ini Ketangkap Gunakan Kokain untuk Trick-or-treat