TEMPO.CO, Jakarta -Sekolah tanpa kasta. Itu menjadi satu dari berbagai alasan Mahkamah Konstitusi membubarkan sekolah berkategori internasional dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Adanya kategori semacam itu dianggap sebagai potensi diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan.
Majelis hakim konstitusi menganggap pengkotakan status sekolah yang satu dengan yang lain mengikis rasa bangga dan karakter nasional, dua hal yang harus ditingkatkan oleh pemerintah. Sehingga majelis memutuskan, pemberian label pada sekolah semacam itu bertentangan dengan konstitusi.
“Membangun pendidikan setara dengan mutu internasional tidak harus mencantumkan label bertaraf internasional,” kata Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang putusan di gedung MK, Selasa, 8 Januari 2013.
Keputusan itu dibuat Mahkamah Konstitusi menindaklanjuti gugatan dari sejumlah murid, dosen, pemerhati pendidikan, dan Indonesian Corruption Watch. Mereka menggugat pembentukan sekolah bertaraf internasional pada pasal 50 ayat 3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalil mereka, sekolah dengan embel-embel ‘bertaraf internasional’ sangat rentan dengan penyelewengan anggaran dan menimbulkan sikap diskriminatif dalam dunia pendidikan. Apalagi RSBI mau didirikan di setiap kabupaten dan kota.
Majelis menyikapi, siswa berkemampuan lebih atau di atas rata-rata perlu perlakuan berbeda. Namun perlakuan tadi tak boleh diaplikasikan dalam bentuk pengelompokan, dengan membuat sekolah berciri tertentu. Sekolah berstatus RSBI dianggap lebih menunjukkan perlakuan berbeda dari pemerintah terhadap hak para siswa.
“Rintisan sekolah ini diperuntukkan bagi siswa yang memiliki nilai tinggi. Sedangkan sekolah biasa atau bukan RSBI akan terus ketinggalan,” kata Anwar.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyambut gembira putusan Mahkamah. Satu dari para penggugat ini menyatakan dampak pembubaran RSBI yang paling kentara adalah biaya sekolah para siswa. Sekretaris Jenderal Federasi, Retno Listyarti, mengatakan biaya sekolah siswa RSBI akan kembali normal, seperti sekolah negeri lainnya. “Semua fasilitas akan disamakan dengan sekolah umum yang lain, termasuk biayanya,” kata dia.
Retno, yang menjadi guru di sekolah RSBI, mengatakan, selama ini siswa di RSBI harus mengeluarkan biaya lebih besar dari sekolah umum. Bahkan, siswa yang mengambil program internasional harus mengeluarkan biaya hingga Rp 40 juta per tahun. Mahalnya menimba ilmu di sekolah berstatus RSBI tak begitu relevan dengan tingkat kualitas pendidikannya.
Malah, Retno menganggap perubahan besar atas putusan Mahkamah Konstitusi bukan pada kualitas siswa tapi latar belakang siswa. “Dulu ketika belum jadi RSBI banyak anak dari keluarga sederhana dan sekolah tetap berprestasi. Sekarang, setelah jadi RSBI jumlah anak dari keluarga sederhana hanya 20 persen,” ujarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh tak kecewa terhadap putusan Mahkamah. Sebab, pemerintah hanya menjalankan perintah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Namun Nuh berharap kualitas pendidikan di bekas sekolah rintisan bertaraf internasional tak menurun. "Kalau undang-undang itu dibatalkan, ya, tidak akan kami laksanakan," katanya.
Hingga tahun lalu, pemerintah telah mendirikan sedikitnya 1.300 sekolah RSBI tingkat dasar, menengah pertama, menengah atas, ataupun menengah kejuruan.
FRANSISCO ROSARIANS | SUNDARI | BOBBY CHANDRA | MUNAWWAROH