TEMPO.CO, Jakarta - Polisi menerjunkan Detasemen Khusus 88 Antiteror guna mengungkap kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Sabtu pekan lalu. “Semua sumber daya di Polri dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melakukan pengungkapan (kasus itu),” kata juru bicara Markas Besar Polri, Boy Rafli Amar, di Jakarta Selasa 26 Maret 2013.
Menurut Boy, polisi akan bekerja maksimal dalam pengungkapan kasus yang menewaskan empat tahanan itu. Mereka akan berupaya keras mengumpulkan fakta yang lebih akurat. “Pekerjaan ini tidak mudah,” kata Boy. “Bisa saja informasi akurat didapat di tempat lain, yang katakanlah terkait dengan orang-orang yang mirip dengan yang dijelaskan di TKP.”
Penyidik Polri, ujar Boy, masih menyelidiki insiden penyerangan LP Cebongan tersebut dengan mengumpulkan barang bukti. Mereka juga memeriksa puluhan saksi, baik narapidana maupun sipir. Tim Laboratorium Forensik juga sedang mengidentifikasi peluru yang ditemukan di lokasi.
“Kami masih mempelajari temuan-temuan yang diperoleh,” ucapnya. “Pelakunya masih gelap, belum diketahui. Kami ingin kerja profesional didasarkan bukti scientific,” tuturnya.
Kepolisian, Boy mengatakan, juga berharap dukungan dan bantuan informasi dari masyarakat. “Barangkali ada masyarakat yang menyimpan info, jangan sampai info itu tidak digunakan,” ucapnya.
Pada Sabtu dinihari pekan lalu, sekitar 17 orang menyerbu LP Cebongan dengan menggunakan senjata laras panjang, pistol, dan granat. Mereka menembak hingga tewas para tersangka penganiayaan dan pembunuhan anggota Kopassus, Sersan Satu Santoso, di Hugo’s Cafe, Jalan Adisutjipto Km 8,5 Maguwoharjo, Sleman, pada Selasa pekan lalu.
Keempat tersangka pembunuh tentara itu adalah Hendrik Angel Sahetapy alias Deki, 31 tahun, Yohanis Juan Manbait (38), Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi (29), dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi (33). Mereka tewas tertembak dengan 31 peluru di tubuhnya.
Selasa 26 Maret 2013, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga memulai penyelidikan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman. Mereka menemukan kesaksian yang mengejutkan dalam eksekusi empat tahanan yang tewas Sabtu pekan lalu. Sebanyak 31 tahanan di blok A5 (Anggrek Nomor 5) yang menyaksikan eksekusi itu dipaksa tepuk tangan oleh penembak.
“Ya, mereka dipaksa eksekutor itu untuk bertepuk tangan setelah ia menembak mati empat tahanan,” kata penyidik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mimin Dwi Hartono, di Cebongan.
Sumber Tempo di Cebongan menyebutkan, saat tepuk tangan, ada salah satu tahanan yang berteriak, “Hidup Kopassus!” Teriakan itu membuat eksekutor marah. “Siapa yang teriak? Saya tembak kamu!” kata sumber, menirukan ucapan eksekutor. Untunglah itu hanya gertakan.
Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila juga mengungkapkan, berdasarkan keterangan saksi, Komisi menyimpulkan pelaku sangat terlatih dan profesional. Ia menyebutkan, setiap personel kawanan itu membawa senjata laras panjang dan pistol di kiri dan kanan pinggang serta memakai rompi dan zebo (penutup muka) yang seragam. Mereka juga mengenakan rompi yang diduga rompi antipeluru. Sedangkan pakaian yang dikenakan ada yang berupa kemeja lengan pendek ataupun panjang. Celana yang dikenakan bukan seragam, tapi postur tubuhnya tegap dengan tinggi yang hampir sama. “Bergerak dengan singkat, cepat, terencana,” kata Laila.
Sebelumnya, Kepala Penerangan Kopassus Mayor Susilo menyatakan pihaknya akan menindak tegas anggotanya jika terlibat kasus penyerangan ke Lapas Cebongan. Hingga kini, Kopassus mengklaim belum ada bukti keterlibatan mereka. “Kami masih menunggu hasil penyelidikan kepolisian,” kata Susilo.
TIM TEMPO
Berita Terpopuler:
Tahanan LP Sleman Sempat Dianiaya Sebelum Ditembak
Asal-usul Peluru di Penjara Cebongan Sleman
Profil Eyang Subur: Penjahit Jadi Kolektor Kristal
Drama 14 Jam Serangan Penjara Cebongan Sleman
Gara-gara Eyang Subur, Adi Bing Slamet Dimusuhi