TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi sekitar 33 persen bakal mendorong inflasi ke kisaran 8 persen pada akhir tahun ini. Bank Indonesia dipastikan akan menaikkan suku bunga simpanan (FASBI) dan bunga acuan (BI Rate) masing-masing menjadi sebesar 5,50 persen dan 6,50 persen.
“Imbasnya, daya beli bakal menurun dan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal melemah,” kata ekonom DBS Singapura, Eugene Leow, kemarin.
Akibat pengetatan kebijakan moneter dan terhentinya pertumbuhan konsumsi, kata dia, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) bakal melorot. “Pertumbuhan bakal menurun sekitar 0,3 persen,” ujarnya.
Dia membandingkan kondisi yang sama pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM pada 2005 dan 2008. Pada 2005, harga BBM dinaikkan sebesar 29 persen pada Maret dan naik kembali pada Oktober sebesar 88 persen. Sedangkan lima tahun lalu pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 33 persen pada Oktober 2008.
Pada saat harga BBM naik sekitar 33 persen, pertumbuhan konsumsi pribadi terhenti selama dua kuartal. Sedangkan pada saat BBM naik 88 persen, konsumsi pribadi menurun tajam.
Ekonom Standard Chartered, Fauzi Ichsan, memprediksi tingkat inflasi pada akhir tahun mencapai 7,8 persen pasca-kenaikan harga BBM. Kenaikan harga bahan bakar juga akan menyebabkan kenaikan suku bunga kredit sekitar 50-100 basis poin.
Namun kenaikan sebesar itu, kata Fauzi, tak berdampak signifikan pada pertumbuhan kredit. “Pasti akan ada dampaknya, tapi tidak akan signifikan. Tidak sampai akan ada penurunan penjualan properti atau mobil,” ujarnya kemarin.
Analis First Asia Capital, David Sutyanto, memperkirakan dampak kenaikan harga BBM berimbas langsung terhadap biaya produksi sektor konsumsi. Sektor otomotif juga diprediksi bakal terpengaruh akibat kenaikan harga bahan bakar. David memperkirakan, emiten yang bergerak di sektor otomotif akan mengalami penurunan kinerja walau tidak signifikan dan hanya sementara. “Dampaknya ke sales mereka, tapi hanya sedikit.”
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi ragu pertumbuhan investasi pada tahun ini di kisaran 6 persen. Alasannya, kata dia, banyak investor baru menunda investasinya meski telah mengantongi izin.
Menurut Sofjan, iklim investasi saat ini tidak stabil akibat kondisi global yang memburuk. Kondisi ini ditambah dengan adanya kegiatan politik pada tahun depan. "Investor menunggu hingga berganti pemerintah sehingga keadaan politik lebih stabil.”
ALI NUR YASIN | ANANDA TERESIA | RIRIN AGUSTIA | TIKA PRIMANDARI