TEMPO.CO, Jakarta-Keretakan hubungan diplomatik Indonesia-Australia, yang dipicu oleh isu penyadapan, memasuki babak baru. Setelah mengecam lewat akun Twitter dan menarik pulang Duta Besar Indonesia di Canberra, Rabu, 21 November 2013, kemarin, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengultimatum Perdana Menteri Australia Tony Abbott.
Di Istana Negara, Jakarta, Yudhoyono menyatakan menuntut penjelasan resmi mengapa pihak intelijen Australia menyadap percakapan teleponnya dan orang-orang dekatnya, termasuk istrinya, Kristiani Herawati. Presiden segera mengirim surat kepada Abbot untuk menuntut penjelasan tersebut.
"Kalau Australia ingin menjaga hubungan baik, saya masih tetap menunggu penjelasan dan sikap resmi Australia berkaitan dengan hal itu," kata Yudhoyono kemarin. Presiden menginstruksikan agar semua kerja sama militer, intelijen, dan pertukaran informasi dengan pemerintah Australia dihentikan sampai ada penjelasan yang tepat mengenai penyadapan tersebut.
Dari Canberra, Abbott menyampaikan “penyesalan mendalam dan tulus” atas rasa malu yang dirasakan Presiden Yudhoyono. "Saya akan menanggapi surat Presiden (Indonesia) secepatnya, secara lengkap dan dengan sopan," kata Abbot, di depan anggota Parlemen Australia, tak lama setelah keluarnya pernyataan SBY. (Baca: Siang Ini, SBY Panggil Dubes RI untuk Australia )
Skandal penyadapan ini terbuka ke publik setelah The Guardian dan kelompok Fairfax Media, Senin lalu, melansir berita bahwa Australian Signal Directorate menyadap percakapan telepon Yudhoyono dan orang dekatnya, setidaknya selama 15 hari pada Agustus 2009. Informasi ini didasari dokumen bocoran eks analis di Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat, Edward Snowden. (Baca: Abbott Soal Penyadapan: Tak Perlu Reaksi Berlebih)
ABC.NET.AU | PRIHANDOKO | ABDUL MANAN