TEMPO.CO, Jakarta - Jumat pagi, 28 Maret 2014. Sekelompok pemuda, anak-anak, serta perempuan—tua dan muda—berhamburan dan kocar-kacir. Seperti efek domino, mereka dan banyak orang lainnya yang menyusul kemudian berlarian masuk ke kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat.
Di belakang mereka, samar terlihat mobil patroli milik petugas Satuan Polisi Pamong Praja. “Yang baru-baru memang ditaro di sana (Senayan Barat),” kata Marni, yang juga bersiap angkat kaki. Dia menambahkan, “Kalau ada razia, mereka akan kasih tahu, sehingga yang di sini aman.”
Marni dan yang lainnya yang ditunjuk itu adalah para joki—sebutan buat mereka yang biasa mangkal di tepi jalan menjelang koridor bagi kendaraan berpenumpang tiga orang atau lebih (three in one). Mereka menyewakan dirinya sebagai penumpang kendaraan pribadi yang akan melintas di koridor tersebut.
Pada Jumat itu, Tempo menemui Marni di tepi Jalan Pintu I Senayan, tepatnya di depan Hotel Atlet Century Park. Marni sudah menekuni pekerjaannya sebagai joki three in one di sana selama tiga tahun.
Setiap pagi-pagi sekali, Senin-Jumat, perempuan 29 tahun itu berangkat dari rumahnya di Tangerang menumpang truk pengangkut sayur. Rata-rata dalam sehari dia bisa kembali dengan membawa pulang uang Rp 50-70 ribu. Sesekali bisa lebih dari Rp 100 ribu. ”Daripada bengong di rumah, mending jadi joki, lumayan,” ujarnya.
Menambang uang dari pinggir jalan Jakarta—dengan cara mengangkat tangan dan jari telunjuk—juga dijalani seorang pria yang diinisialkan sebagai DGW, 39 tahun, asal Jawa Tengah. Berprofesi asli sebagai guru honorer, dia melupakan kewajibannya mencerdaskan anak-anak dengan ikut-ikutan berdiri menawarkan dirinya sebagai penumpang kendaraan pribadi di Jalan Trunojoyo.
DGW dijerat petugas dari Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan setelah turun dari mobil pribadi yang memanfaatkan jasanya, pada Kamis lalu. “Di Jakarta, dia malah menjadi joki karena menganggap penghasilannya lebih tinggi ketimbang jadi guru di kampung halamannya, yang hanya sekitar Rp 200 ribu per bulan,” kata Kepala Seksi Pelayanan Rehabilitasi Sosial Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda.
Marni memberi catatan. Modalnya tak cukup mengangkat jari telunjuk, tapi juga berpakaian sebisa mungkin mengikuti gaya mereka yang lebih muda dan modis. “Dan memasang muka senyum. Kalau enggak gitu, orang juga bakal takut mau angkut,” ucapnya.
Jemari dan senyum itu pulalah yang lekas disimpan kembali ketika melihat ada patroli dari petugas Satpol PP atau Dinas Sosial. Seperti diakui Miftahul, tak mudah menjerat mereka yang bekerja sebagai joki three in one. Dia mengungkapkan, para joki bisa melakukan dua hal ketika didekati: ambil langkah seribu atau mengaku bukan joki. “Kami harus menangkap tangan mereka ketika sedang menaiki mobil atau baru turun sehingga jelas buktinya bahwa mereka adalah joki.”
Ketika bisa dibuktikan itu, aturan dalam Perda Nomor 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum bisa diterapkan. Para joki digolongkan sebagai pelanggar ketertiban umum. "Hukumannya maksimal 3 bulan penjara atau denda Rp 50 ribu," ujar Miftahul.
Tapi ancaman hukuman itu tak terbukti membuat gentar. Lagian, Marni mengungkapkan, mereka selalu punya “anak baru” yang bisa difungsikan sebagai alarm setiap kali ada razia. Seperti yang terjadi pada Jumat pagi lalu itu.
M. ANDI PERDANA
Topik terhangat:
MH370 | Kampanye 2014 | Jokowi | Prabowo | Dokter TNI AU
Berita terpopuler lainnya:
MH370 Terkuak Jika Kotak Hitam Tersambung Satelit
The Raid Dilarang Tayang di Malaysia
Ahok Curhat Soal Jokowi yang Fokus Berkampanye