TEMPO.CO, Jakarta - Tingginya kunjungan warga negara asing di Jakarta, Batam, dan Bali mendorong suburnya bisnis jual-beli valuta asing. Pada beberapa ruas jalan ternama, berjajar gerai pedagang valuta asing. Sebagian bahkan dibuka hingga 24 jam. “Yang sedang bertumbuh di Bandung, karena pariwisatanya yang terbuka,” kata Ketua Umum Asosiasi Pedagang Valuta Asing Indonesia, Muhammad Idrus, kepada Tempo.
Bisnis itu kelihatan wajar, tapi belum tentu benar. Simak pernyataan Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso. Agus berulang kali mewanti-wanti regulator terkait bahwa bisnis money changer harus betul-betul diawasi. (Baca: Money Changer, Usaha Samaran PNS Pemilik Duit 1,3 T).
Sebab, kata Agus, banyak pedagang valas tak berizin. Beberapa di antaranya bahkan bukan berupa toko, hanya bersifat individual. “Seperti di Pasar Baru dan Kwitang Jakarta Pusat,” ucap dia. (Baca juga: Yusril Sarankan UU Pencucian Uang Dibawa ke MK ).
Akibat maraknya pedagang valas tak berizin, kata Agus, bisnis money changer rawan digunakan sebagai sarana kejahatan. Dia mengatakan PPATK menjumpai money changer yang digunakan sebagai sarana untuk pencucian uang dari bisnis narkotika. "Terakhir, ada money changer yang terkait dengan penyelundupan BBM di Batam,” ucap Agus. (Baca: Warga Singapura Ditangkap, Terkait PNS Rp 1,3 T?).
Modusnya, kata Agus, duit dari bisnis haram disamarkan seolah-olah bersumber dari hasil tukar-menukar mata uang. Lantas, bagaimana keterkaitan money changer dengan bisnis narkotika? Baca tulisan berikutnya.
MARTHA THERTINA
Berita Terpopuler
Istri AKBP Idha Endri Kuasai Harta Bandar Narkoba
Golkar Terbelah Hadapi Voting RUU Pilkada
Onno W. Purbo Nilai E-Blusukan Jokowi Tak Relevan