TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Merah Putih, yang dimotori Partai Golkar, memastikan menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota—disebut Perpu Pilkada Langsung. Penolakan itu diumumkan dalam Musyawarah Nasional Golkar di Bali, Selasa 2 Desember 2014. Langkah Golkar pimpinan Aburizal Bakrie ini dinilai sebagai blunder.
Menurut ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, manuver Golkar itu justru menguntungkan Presiden Joko Widodo, yang berupaya mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung. “Jokowi bisa langsung menunjuk 204 pelaksana tugas kepala daerah di provinsi dan kabupaten/kota pada 2015,” kata Zainal, Kamis 4 Desember 2014.
Penunjukan itu adalah buah dari kekosongan hukum jika Perpu Pilkada ditolak Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi undang-undang. Menurut Zainal, jika perpu dimentahkan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tak otomatis berlaku. Beleid itu disahkan DPR periode lalu sebelum dianulir oleh perpu yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Setelah perpu ditolak, kata Zainal, DPR dan pemerintah harus menyusun rancangan undang-undang yang membahas pencabutan perpu dan mengatur akibat hukum dari pencabutan itu. “Akibat hukumnya silakan pilih, apakah kembali ke pemilihan tidak langsung atau langsung,” ujar dia. Ketentuan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Bila DPR dan pemerintah tak mencapai kata sepakat, akan terjadi kevakuman hukum soal pilkada. Dengan tiadanya aturan, Presiden Jokowi bisa langsung menunjuk pelaksana tugas kepala daerah.
Tahun depan, ada 204 kepala daerah yang habis masa jabatannya. Untuk gubernur, pelaksana tugas adalah pejabat eselon I. Adapun bupati dan wali kota dijabat pejabat eselon II. Karena kepala daerah ditunjuk pusat, kebijakan pemerintah Jokowi diperkirakan tak akan ditentang daerah.
Zainal menambahkan, kekosongan hukum ini tak ada batas waktu. Jika DPR dan pemerintah tak kunjung mencapai titik temu, konsekuensinya tidak akan ada undang-undang baru menyangkut pilkada. “Padahal, dalam pembuatan undang-undang, dibutuhkan kesepakatan kedua pihak,” ujar Zainal.
Dia menilai pemerintah tak akan menuai dampak buruk dengan ditolaknya perpu. Asalkan pemerintah Jokowi berkukuh bahwa pemilihan kepala daerah harus langsung oleh rakyat ketika membahas undang-undang pengisi kekosongan aturan pilkada. “Kalau pemerintah lemah dan setuju pemilihan kepada daerah melalui DPRD, KMP yang bakal menguasai kepala daerah,” kata Zainal.
Golkar dan sekutunya sudah menghitung peluang menguasai kursi kepala daerah setelah perpu ditolak. Bila kepala daerah dipilih oleh DPRD, Golkar yakin bisa menguasai 59 kepala daerah di seantero Nusantara. “Tapi, kalau dengan Koalisi Merah Putih bisa hingga 70 persen lebih. Bisa 80 persen,” ujar Aburizal Bakrie di Bali, kemarin.
Politikus Gerindra, Desmond J. Mahesa, mengatakan Koalisi Merah Putih bisa merebut mayoritas kursi gubernur. “Hitungannya, kami menguasai 30 provinsi,” ujarnya. Desmon menjelaskan, hitungan itu berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan legislatif. “Kemungkinan besar yang lepas cuma Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah,” katanya.
SINGGIH SOARES | MUHAMMAD MUHYIDDIN | RIKY FERDIANTO
Topik Terhangat:
Golkar Pecah | Wakil Ahok | Interpelasi Jokowi | Susi Pudjiastuti
Berita terpopuler lainnya:
Ical Ketum Golkar, Peristiwa Tragis Mengiringi
Ciri-ciri Taksi Express Asli dan Palsu
Jadi Gubernur FPI, Berapa Gaji Fahrurrozi?
KPK Bantah Boediono Sudah Tersangka Kasus Century