TEMPO.CO, Jakarta - Tim Reformasi Tata Kelola Sektor Minyak dan Gas atau kerap disebut Tim Antimafia Migas mengakhiri tugasnya pada Rabu lalu, 13 Mei 2015. Mantan ketua tim, Faisal Basri, mengingatkan upaya pemberantasan mafia migas belum usai.
Dia memberi contoh, tidak dijalankannya rekomendasi tim agar PT Pertamina dan pemerintah menghapus Premium (RON 88). “Ada yang ingin menundanya demi keuntungan,” kata Faisal saat berkunjung ke Kantor Tempo, kemarin.
Faisal menduga penghapusan Premium sulit dilakukan lantaran banyak yang berkepentingan dengan impor komoditas tersebut. Pemburu “uang panas”, kata dia, mudah menangguk untung lantaran skema harga bahan baku Premium tidak transparan.
Untuk menghapus Premium, kata Faisal, timnya sudah mengakomodasi pendapat Pertamina. Bahkan tim menerima masukan dari salah seorang petinggi Pertamina bahwa penghapusan Premium bisa dilakukan dalam waktu dua bulan. Faisal memutuskan memberikan toleransi hingga enam bulan bagi Pertamina untuk mempersiapkan fasilitas produksi ataupun distribusi Pertamax atau BBM RON 92. “Ternyata rekomendasi ini juga tidak dijalankan,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, juru bicara Pertamina, Wianda Pusponegoro, mengatakan pengadaan Premium adalah mandat yang diberikan pemerintah. Pertamina, kata dia, mencoba mengurangi ketergantungan terhadap Premium dengan menawarkan Pertalite (RON 90). Namun hal ini belum disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Wianda juga mengatakan saat ini Pertamina tengah bekerja sama dengan perusahaan asing untuk memperbarui lima kilang Premium. “Nanti akan membuat BBM setara dengan Pertamax,” katanya.
Juru bicara Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan penghapusan Premium harus mempertimbangkan banyak faktor, “Salah satunya daya beli masyarakat,” ujarnya.
Adapun Faisal juga menyoroti lambannya modifikasi kilang-kilang Pertamina agar bisa membuat BBM RON 92 (Pertamax 92). Ironisnya, kata dia, Pertamina malah lebih siap meluncurkan produk baru, yakni Pertalite. “Cuma satu bulan. Ini bukti bahwa sebenarnya kilang atau fasilitas produksi Pertamina mampu membuat bahan bakar dengan RON tinggi,” katanya.
Selain penghapusan Premium, jejak mafia masih kental di sektor trading atau pengadaan minyak. Meski Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) serta dua anak usahanya, Pertamina Energy Service dan Zambesi Ltd, sudah ditutup sesuai dengan rekomendasi timnya, Faisal mengatakan sebagian manajer di perusahaan itu masuk struktur Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina. “Padahal mereka sumber masalah dalam inefisiensi pengadaan minyak. Ini yang harus terus dijaga, kalau perlu oleh KPK.”
Mengenai Petral, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno meminta Pertamina melakukan pengawasan setelah mengambil alih kegiatan bisnis perusahaan itu. “Kami minta hasil audit selambatnya April tahun depan,” ujarnya.
ANDI RUSLI | ALI HIDAYAT | ROBBY IRFANI | SINGGIH SOARES | FERY F