TEMPO.CO, Jakarta- Mahkamah Konstitusi melegalkan pencalonan keluarga inkumben dalam pemilihan kepala daerah. Majelis konstitusi berpendapat Pasal 7 huruf r Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang sebelumnya melarang hal tersebut, bertentangan dengan konstitusi.
“Pasal tersebut melanggar hak konstitusi warga negara untuk memperoleh hak yang sama dalam pemerintahan,” kata hakim konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Rabu, 8 Juli 2015.
Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah inkumben. Dalam penjelasan, yang dimaksud sebagai “konflik kepentingan” adalah sang calon berhubungan darah, hingga ipar dan menantu, dengan pemimpin daerah, misalnya bupati atau gubernur. Aturan ini dibuat untuk mencegahnya terbentuknya dinasti politik, yang telah bermunculan di banyak daerah dan cenderung koruptif.
Februari lalu, Adnan Purichta Ichsan dan Aji Sumarno menggugat aturan tersebut dengan dalih diskriminatif. Adnan adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan yang juga putra Bupati Gowa, Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpo. Adapun Aji merupakan menantu Syahrir Wahab, Bupati Selayar, Sulawesi Selatan. Aturan ini dianggap mendiskriminasi keluarga pemimpin daerah dan mengebiri hak mereka untuk dipilih.
Koordinator Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan, sudah menduga Mahkamah Konstitusi akan mencabut pasal tersebut dengan dalih hak asasi manusia. Masalahnya, menurut dia, putusan tersebut justru menjadi kabar buruk bagi upaya memajukan demokrasi dan budaya anti-korupsi di Indonesia. “Faktanya, saat ini dinasti politik di Indonesia cenderung memonopoli kekuasaan dan melakukan korupsi,” ujarnya.
Ade mencontohkan dinasti politik keluarga Tubagus Chasan Sochib di bawah kepemimpinan putrinya, Atut Chosiyah, Gubernur Banten (nonaktif), yang terlibat sejumlah kasus korupsi. Dinasti politik serupa, kata dia, mulai bermunculan di banyak daerah dengan kecenderungan yang sama. “Hasil kajian kami menemukan lebih dari 90 persen kasus korupsi terjadi di daerah,” ujarnya.
Menurut dia, yang membahayakan bukan hanya berupa penyelewengan anggaran, tapi juga akses inkumben untuk memobilisasi birokrat demi kemenangan keluarga mereka dalam pemilihan kepala daerah. “Mereka memanfaatkan kepala dinas, meraup massa, dan menyingkirkan pesaing,” kata Febri. “Semakin parah karena aturan main dan pengawasan lemah.”
Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat juga mengecam putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai mencederai keadilan. Anggota Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Ahmad Riza Patria, mengatakan pasal tersebut dibuat untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat. “Keputusan MK sangat arogan karena merugikan jutaan hak konstitusional rakyat yang selama ini tidak memiliki kesempatan bertarung dengan adil dalam pilkada,” ujarnya.
Sekretaris Fraksi Partai NasDem, Syarief Abdullah Al-Kadrie, juga menyayangkan putusan MK yang kurang jeli. Undang-Undang Pilkada, kata dia, tidak bermaksud mengebiri hak konstitusional keluarga inkumben. Peluang keluarga inkumben untuk mencalonkan diri masih diakomodasi setelah inkumben melewati jeda satu kali masa jabatan. “Jadi, tidak dilarang selamanya, hanya harus ada jeda,” kata Syarief.
Kuasa hukum pemohon uji materi, Heru Widodo, menilai putusan Mahkamah Konstitusi sudah tepat. “Bukan melegalkan politik dinasti, tapi justru memberikan kesempatan luas bagi siapa pun yang ingin berpolitik," ujarnya.
REZA ADITYA | RIKY FERDIANTO | INDRI MAULIDAR | AGOENG WIJAYA