TEMPO.CO, Bangkalan - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengatakan anak buahnya belum bisa menemukan dalang kerusuhan Tolikara di Papua saat salat Idul Fitri pada Jumat dua pekan lalu. “Sehingga untuk sementara kami menyebut apa yang terjadi di sana perbuatan kriminal saja,” katanya di Bangkalan, Jumat 25 Juli 2015.
Kepolisian Daerah Papua sejauh ini baru menetapkan dua tersangka dalam kerusuhan yang menewaskan seorang anak dan melukai sebelas orang itu, yakni Arianto Kogoya dan Jumdi Wanimbo. Keduanya dituduh sebagai provokator serangan terhadap Masjid Baitul Mutaqqin di Kecamatan Karubaga.
Baca Juga:
Menurut Badrodin, keduanya belum digolongkan sebagai dalang kerusuhan. “Dari pemeriksaan dan penyelidikan, apa yang terjadi di Tolikara ada aktornya, tapi kami masih selidiki,” kata dia. Polda Papua sudah memeriksa Arianto, 24 tahun, dan Jumdi, 31 tahun, kemarin dengan tuduhan menghasut dan membakar.
Pemeriksaan akan dilanjutkan pada Senin besok dengan meminta keterangan dari pengurus Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Menurut Kepala Polres Tolikara Ajun Komisaris Besar Soeroso, ada empat petinggi GIDI yang akan diperiksa. Mereka adalah Presiden GIDI Dorman Wandikmbo, Ketua GIDI Tolikara Nayus Wenda, Sekretaris GIDI Tolikara Marthen Jingga, serta Wakil Ketua Panitia Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Yakob Yikwa.
Badrodin berharap pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi ini tak hanya mengungkap motif kerusuhan yang menghanguskan kios dan masjid itu, tapi juga mengungkap dalangnya. “Kami perlu fakta hukum untuk menjerat aktor intelektual,” kata dia.
Mantan Ketua Pemuda GIDI, Wekis Wonda, meminta polisi tak hanya menetapkan tersangka dari GIDI. Sebab, kata dia, faktanya ada korban tewas dan luka dari jemaat GIDI dalam kerusuhan tersebut. “Kenapa penembakannya tak diusut?” kata dia. “Jika rusuh sudah ada tersangka, mestinya penembakan juga ada tersangkanya.”
Menurut Wekis, Arianto dan Jumdi adalah tokoh pemuda GIDI yang disegani. Saat kejadian itu, keduanya menjadi panitia seminar dan datang ke masjid untuk meminta agar warga muslim bersembahyang Id di dalam masjid, bukan di lapangan. “Mereka datang dengan tangan kosong,” kata dia.
Kedatangan Arianto dan Jumdi, yang diiringi beberapa massa GIDI, bertemu dengan polisi yang menjaga pelaksanaan salat Id. Polisi meminta jemaat menjauh, lalu mengeluarkan tembakan yang menewaskan anak tersebut. Jemaat GIDI meresponsnya dengan membakar kios yang merembet ke masjid.
MUSTHOFABISRI | DINI PRAMITA