TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah analis memperingatkan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah untuk menjaga kecukupan cadangan devisa di tengah laju pelemahan rupiah yang kian cepat.
Analis dari Eshandar Artha Mas Berjangka, Tony Mariano, mengatakan intervensi Bank Indonesia tidak cukup untuk menahan laju dolar yang didasari motif spekulasi. “Permintaan dolar justru kebanyakan untuk antisipasi pelemahan rupiah,” kata dia kepada Tempo, Senin 24 Agustus 2015.
Tony mengingatkan bahwa nilai cadangan devisa terus menunjukkan penurunan. Data BI menyebutkan, pada Januari-Juli, cadangan devisa tersisa US$ 107,55 miliar atau berkurang US$ 6,69 miliar. Tony pun ragu akan kemampuan instrumen tersebut dalam menjaga kurs rupiah. Apalagi ada kendala ambang batas aman yang ditetapkan Dana Moneter Internasional (IMF), di mana cadangan devisa harus menutupi kebutuhan impor untuk 3-4 bulan. "BI tak mungkin terus menabur dolar ke pasar uang,” ujarnya.
Ekonom Bank Internasional Indonesia, Juniman, juga memperingatkan Bank Indonesia agar tidak terus menggunakan cadangan devisa. "Karena tekanan atas rupiah akan terus terjadi," katanya. Yang terpenting, kata Juniman, pemerintah harus membentuk iklim ekonomi yang kondusif agar investor terus menanamkan modalnya. Penyerapan anggaran belanja infrastruktur pun harus dipercepat.
Kemarin, kurs rupiah melemah 108,2 poin (0,78 persen) ke level 14.049,5 per dolar AS. Lesunya rupiah terjadi berbarengan dengan ringgit yang menurun 1,79 persen ke level 4,243 per dolar AS dan rupee (1,21 persen) menjadi 66,613 per dolar AS. Juniman memperkirakan rupiah bakal terus merosot hingga ke level 14.400 pada akhir September nanti. Ada dua faktor yang membuat rupiah kian tertekan, yakni rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Fed's Rate) dan devaluasi mata uang yuan Cina.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono, mengatakan tak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan BI di tengah kepanikan pasar.
“Sulit menggunakan kebijakan yang biasa, karena yang dihadapi adalah orang panik dan low confidence,” kata dia. Tony mengatakan situasi ini sebenarnya bersifat sementara karena secara fundamental perekonomian Indonesia tidak terlalu buruk. “Jika kepanikan tidak berlanjut, rupiah akan menguat," ujarnya.
Gubernur BI Agus Martowardojo juga menyatakan pasar tidak perlu khawatir karena cadangan devisa masih cukup untuk membiayai impor kita selama tujuh bulan. Dia menjamin situasi saat ini tidak seperti krisis pada 1997 dan 2008, karena inflasi dan volatilitas kurs mata uang lebih terkendali.
"Dulu inflasi bisa 60 persen, sekarang di bawah 4,5 persen," kata dia di Istana Bogor. Agus menyatakan tengah berkoordinasi dengan bank sentral negara lain, berkaitan dengan kemungkinan pertukaran (swap) mata uang secara bilateral.
MEGEL JEKSON | FAIZ NASHRILLAH