TEMPO.CO, Jakarta - Setahun memerintah, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kurang bisa menunjukkan kinerja moncer di bidang ekonomi. Melambatnya pertumbuhan, gejolak nilai tukar rupiah yang cenderung ambles, serta naiknya harga kebutuhan pokok menjadi nilai minus dalam rapor Kabinet Kerja pada tahun pertamanya.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai kinerja ekonomi Jokowi baru sebatas komitmen. Tekad Jokowi menggeser kegiatan ekonomi dari yang berbasis konsumsi ke produktif, menciptakan iklim usaha yang kondusif, serta meningkatkan penerimaan negara belum juga terwujud. “Yang terpenting adalah implementasinya,” ujar Enny, pekan lalu.
Ia menunjuk contoh, Jokowi belum mampu menunaikan janjinya menstabilkan harga kebutuhan pokok. Yang terjadi sebaliknya: barang-barang tambah mahal. Kementerian Perdagangan mencatat, harga rata-rata beras medium per 23 Oktober 2014 masih Rp 8.931 per kilogram. Setahun kemudian, harganya menjadi Rp 10.470 per kilogram atau naik 17,2 persen. “Seharusnya, di sini kehadiran negara paling dirasakan masyarakat. Tapi malah terabaikan.”
Ekonom dari Universitas Indonesia, Berly Martawardaya, juga menyoroti kelemahan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Dia menganggap pemerintah terlambat menyalurkan beras untuk masyarakat miskin, sehingga harga keburu naik. Distribusi yang amburadul juga menyebabkan harga kebutuhan pokok antarpulau tidak merata. “Ini membuka peluang bagi spekulan untuk memainkan harga.”
Kurang bagus dalam menjaga harga, Jokowi diberi nilai positif oleh Berly dalam hal pembangunan infrastruktur. Indikatornya terlihat pada alokasi anggaran infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015, sebesar Rp 290,3 triliun. Naik hampir Rp 100 triliun dari anggaran infrastruktur APBN 2015, yang hanya Rp 191,3 triliun.
Namun Enny memberi catatan: banyak kebijakan pembangunan infrastruktur Jokowi kontradiktif dengan semangat mendorong kegiatan ekonomi produktif. Salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Meski dijanjikan tak menggunakan dana APBN, Enny menuding proyek tersebut cenderung bersifat konsumtif. “Seharusnya pemerintah jeli memilah proyek infrastruktur yang bermanfaat bagi rakyat.”
Enny juga memberikan catatan negatif terhadap Jokowi ihwal nilai tukar rupiah. Meski pergerakan rupiah sangat dipengaruhi faktor eksternal, pemerintah dipandang kurang sigap mengantisipasi. Akibatnya, kepercayaan pelaku pasar runtuh. “Tidak ada negara yang bisa menghindar dari gejolak nilai tukar. Tapi kalau melemahnya sampai undervalued (di bawah nilai wajar), itu keterlaluan.”
Kurs rupiah memang sempat menyentuh level 14.728 per dolar AS pada 28 September 2015. Jauh di bawah nilai wajar rupiah, yaitu sekitar 13 ribu per dolar AS.
Pendapat lebih positif datang dari ekonom Universitas Indonesia, Destry Damayanti. Dia mengatakan pemerintahan Jokowi sudah cukup tanggap memetakan masalah dari sektor riil hingga keuangan, yang dirangkum dalam paket kebijakan ekonomi I-V. Meski efek dari semua kebijakan itu belum begitu dirasakan, ujarnya, setidaknya payung hukumnya telah tersedia.
Destry juga maklum bila pertumbuhan ekonomi cenderung melemah pada tahun pertama kepemimpinan Jokowi. Pada kuartal I 2015, pertumbuhan ekonomi hanya 4,71 persen, turun dari kuartal I 2014, yang sebesar 5,21 persen. Begitu pula di kuartal II 2015, yang tercatat 4,67 persen, di bawah capaian periode sama tahun sebelumnya, yang sebesar 5,03 persen.
Dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I hingga III sulit menanjak lantaran rendahnya penyerapan anggaran setelah penyelesaian APBN Perubahan 2015 serta perubahan nomenklatur kementerian. Tapi, pada kuartal IV nanti, Destry memprediksi pertumbuhan akan naik ke level 4,9 persen. Ini didorong oleh konsistensi pemerintah dalam reformasi struktural melalui paket kebijakan ekonomi. “Secara keseluruhan, tahun ini pertumbuhan mencapai 4,8 persen.”
Menanggapi derasnya kritik, Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintahannya masih dalam tahap membangun fondasi. Menurut dia, dengan banyaknya persoalan fundamental yang harus dibenahi, terlalu dini berharap agar Kabinet Kerja langsung memberikan hasil sesuai dengan janji kampanye.
Dia mengatakan, dasar yang dibangunnya akan kuat di semua sisi pemerintahan, baik di sektor ekonomi, politik, pembangunan birokrasi, penegakan hukum, maupun pembangunan poros maritim. “Kita baru menggali fondasi. Batunya dipasang saja belum rampung, tapi sudah ditanya genteng.”
DEVY ERNIS | EFRI RITONGA