TEMPO.CO, Jakarta- Fraksi Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat terancam keabsahannya akibat pencabutan surat kepengurusan kubu Agung Laksono oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Wakil Ketua Umum Partai Golkar kubu Agung, Priyo Budi Santoso, mengatakan efek pencabutan itu akan merembet ke legalitas alat kelengkapan Dewan dan pelantikan Ketua DPR yang baru, Ade Komaruddin.
Priyo menjelaskan masalah muncul lantaran Golkar tidak memiliki keabsahan, karena Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tak mengeluarkan surat keputusan baru. “Sekarang ini terjadi kekosongan kekuasan di Golkar,” kata Priyo di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 4 Januari 2016.
Pada 30 Desember 2015, Yasonna Laoly menandatangani surat keputusan yang mencabut kepengurusan Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional (Munas) Ancol yang dipimpin Agung Laksono. Tapi, Yasonna juga tidak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie.
“Siapa yang mengendalikan fraksi? Secara de jure, Fraksi Partai Golkar bermasalah, karena fraksi itu kan perpanjangan tangan partai,” ujar Priyo. Ia pun mendorong agar segera diadakan musyarawah nasional untuk menyelesaikan dualisme kepengurusan di Partai Golkar ini.
Bendahara Umum Golkar kubu Aburizal Bakrie, Bambang Soesatyo, mengatakan pernyataan Priyo seperti orang panik. Menurut dia, pelantikan Ketua DPR dan pergantian alat kelengkapan Dewan sah dilakukan oleh kubunya. “Kalau ada yang bilang ilegal, itu pasti calon legislator yang gagal,” kata Bambang. Priyo adalah mantan Wakil DPR, yang dalam pemilihan umum tahun lalu tak terpilih lagi.
Apalagi, kata Bambang, sampai saat ini pemerintah tak mengeluarkan keputusan presiden yang menyatakan Golkar sebagai partai terlarang. Artinya, ujar dia, Golkar hasil Munas Riau pimpinan Ical—sapaan Aburizal—merupakan pengendali partai yang sah. Kepengurusan itu pun sudah membuat Munas di Bali, yang kembali dipimpin oleh Ical. “Munas Bali tinggal menunggu pengesahan,” kata dia.
Ketua Mahkamah Kehormatan Partai Golkar, Muladi, kemarin meminta agar kedua kubu menggelar munas sebelum Juni tahun ini untuk mengatasi kemelut tersebut. “Agar Golkar bisa mempersiapkan agenda pilkada serentak 2017 dan pemilu legislatif 2019,” ujar dia.
Wakil Presiden Jusuf Kalla kemarin menunjukkan adanya kesepakatan menggelar munas yang ia teken bersama Agung Laksono dan Aburizal Bakrie pada 9 November dan 18 Desember 2015. “Itu sudah setuju. Ini kan hanya soal waktu,” kata Kalla di kantornya.
Tapi, Wakil Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali, Nurdin Halid, mengatakan hal berbeda. “Itu kesepakataan untuk rekonsiliasi yang diputuskan oleh rapimnas. Munas bisa digelar jika diminta oleh dewan perwakilan daerah tingkat provinsi minimal 2/3,” kata Nurdin, menjelang Rapat Konsultasi Nasional Golkar di Bali, kemarin. “Pemegang kekuasan tertinggi sesudah munas itu adalah rapimnas.”
ISTIQOMATUL HAYATI | HUSSEIN ABRI YUSUF | ANGELINA ANJAR SAWITRI | TIKA PRIMANDARI | BRAM SETIAWAN