TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo memastikan sepuluh warga Indonesia yang disandera selama lebih dari sebulan oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina telah dibebaskan, kemarin. Menurut Presiden, pembebasan 10 WNI itu merupakan hasil kerja sama dengan berbagai pihak, terutama pemerintah Filipina.
“Banyak pihak telah bekerja sama membantu, baik formal maupun tidak formal. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada pemerintah Filipina,” kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu 1 Mei 2016.
Sepuluh WNI, yang merupakan anak buah kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12, dirompak milisi Abu Sayyaf di perairan Tawi-tawi, Filipina Selatan. Insiden ini terjadi ketika kedua kapal tersebut tengah berlayar dari Kalimantan Selatan menuju Filipina pada 26 Maret lalu.
Didampingi Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Jokowi juga menegaskan masih mengupayakan pembebasan empat WNI lain yang masih disandera. “Keamanan di perbatasan air dan wilayah sekitarnya juga masih penting. Karena itu, akan ada pertemuan pada 5 Mei antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina,” ujarnya.
Menlu Retno juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat, termasuk jaringan informal. “Perlu disampaikan ini diplomasi total, bukan hanya government to government, tapi juga melibatkan jaringan-jaringan informal,” katanya.
Empat WNI ini merupakan ABK kapal tunda TB Henry dan kapal tongkang Cristi, yang disandera sejak 15 April lalu. Kedua kapal disandera dalam perjalanan kembali dari Cebu, Filipina, menuju Tarakan, Kalimantan Utara. Lima orang berhasil lolos, seorang lainnya dalam perawatan karena tertembak para penyamun.
Mayjen (purnawirawan) Kivlan Zen, salah seorang anggota tim negosiasi, kepada Tempo dari Mindanao, menyatakan pembebasan sandera sepenuhnya karena perundingan, tanpa uang tebusan. “Meski PT Patria Maritime Lines sudah menyiapkan uang. Buat berjaga-jaga jika mereka berubah pikiran,” tuturnya.
Kivlan menambahkan, negosiasi pembebasan mulus lantaran melibatkan Gubernur Zulu Abdsakur Toto Tan II. Toto merupakan keponakan pemimpin Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), Nur Misuari.
Abu Sayyaf meminta tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp 14,3 miliar. Menlu Retno pernah mengatakan pemerintah tidak akan membayar tebusan meski perusahaan tempat para ABK bekerja telah menyiapkan dana. Dalam keterangan pers, kemarin, tidak disebutkan apakah perusahaan pemilik kapal membayar tebusan tersebut.
REZA ADITYA | SG WIBISONO | ANTARA | SITA PA