TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat menuding pemerintah lamban mengidentifikasi vaksin palsu. Terlebih hingga Senin kemarin, hampir sepekan sejak kasus ini dibongkar oleh Badan Reserse Kriminal Polri, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan belum dapat memastikan kandungan vaksin yang diduga telah dipalsukan berikut ancamannya terhadap para pengguna.
Ketua Komisi Kesehatan DPR, Yusuf Macan Effendi, menyesalkan lambannya penanganan terhadap kasus vaksin palsu ini. Dalam rapat dengan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dan pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Bahdar Hamid, Komisi Kesehatan mengultimatum agar hasil uji laboratorium terhadap contoh vaksin palsu segera dilaporkan. Paling lambat Kamis mendatang.
“Selain kandungan, data rumah sakit atau klinik yang diduga membeli vaksin palsu itu juga harus didapat,” kata pria yang lebih dikenal sebagai Dede Yusuf itu di Kompleks Parlemen Senayan, Senin 27 Juni 2016.
Rapat tersebut khusus digelar membahas terungkapnya jaringan produsen dan distributor vaksin palsu, Selasa pekan lalu. Bermula dari penggerebekan pabrik vaksin abal-abal di Pondok Aren, Tangerang, dan penangkapan lima orang pelaku di Kramatjati, Jakarta Timur, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Polri menangkap tiga orang pelaku lainnya yang diduga berperan sebagai kurir dan penjual. Berbekal informasi dari para pelaku, polisi menangkap suami-istri Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina yang diduga memproduksi vaksin palsu di rumah mereka, Perumahan Kemang Pratama, Bekasi, sehari kemudian.
Menteri Nila menjelaskan vaksin milik pelaku yang ditangkap kepolisian adalah palsu dengan mencermati cara produksi dan pengemasannya yang tidak steril. “Vaksin itu tidak dibuat oleh industri yang benar. Benar-benar rumahan,” kata Nila, yang menunggu uji laboratorium BPOM.
Bahdar Hamid mengatakan kantornya belum dapat memastikan apa saja zat yang terkandung dalam vaksin palsu. Uji laboratorium, kata dia, terhambat karena BPOM tidak bisa mengambil vaksin palsu yang disita polisi sebagai barang bukti tindak pidana. “BPOM belum ambil sampel vaksin palsu yang disita polisi,” kata Bahdar.
Anggota Komisi Kesehatan DPR, Saleh Partaonan Daulay, menambahkan, kasus ini meresahkan publik. “Ini sudah lima hari, harusnya sudah ada itu barang di meja BPOM,” kata politikus Partai Amanat Nasional itu.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia, Aman Bhakti Pulungan, menilai vaksin palsu yang beredar tersebut tidak terlalu berbahaya. Sebab, ancaman terbesar adalah terjadinya infeksi seperti bisul, bengkak, atau alergi dalam waktu sehari atau dua hari pasca-penyuntikan. “Tapi sampai saat ini, kami tidak mendengar keluhan itu,” kata Aman.
MITRA TARIGAN | REZKI ALVIONITASARI
Berita lainnya:
Buka Puasa di TNI, Jokowi: Saya Tak Akan Minta Maaf ke PKI
Cerita Risma Ketika Ditanya Megawati, Maju Pilgub DKI Jakarta
Jubir Kementerian Luar Negeri: Tak Ada Perintah Jemput Anak Fadli Zon