TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menyatakan akan tetap melanjutkan proses eksekusi 10 terpidana kasus narkoba yang sempat batal pekan lalu. Kejaksaan mengklaim saat ini tengah merampungkan segala urusan yuridis, teknis, dan nonteknis, yang menjadi ganjalan saat akan mengeksekusi mereka.
“Semua harus kami tunggu dan pastikan. Ini bukan pembatalan, tapi ditunda saja,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Mohammad Rum, saat dihubungi, Ahad 31 Juli 2016.
Jumat pekan lalu, 10 dari 14 terpidana mati urung dieksekusi. Mereka adalah Merri Utami asal Indonesia, Pujo Lestari (Indonesia), Agus Hadi (Indonesia), Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdip Singh (India), Onkonkwo Nonso Kingsley (Nigeria), Obina Nwajagu (Nigeria), Ozias Sibanda (Zimbabwe), Federik Luttar (Zimbabwe), dan Eugene Ape (Nigeria). Sedangkan empat terpidana lain, yaitu Freddy Budiman (Indonesia), Seck Osmane (Senegal), serta Michael Titus dan Humprey Ejike (Nigeria), tetap dieksekusi.
Rum menolak memaparkan detail alasan penundaan sebagian terpidana itu. Ia hanya mengatakan eksekusi akan dilakukan sebelum pergantian tahun. Kejaksaan telah mengajukan anggaran pelaksanaan 14 eksekusi yang menghabiskan Rp 200 juta per terpidana. “Masih bisa digunakan hingga 31 Desember karena masuk tahun 2016,” kata Rum.
Mengenai sejumlah terpidana yang sedang mengajukan permohonan grasi, menurut Rum, hal itu tidak akan membatalkan proses eksekusi yang telah mendapat kekuatan hukum tetap melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung. “Bisa 10 orang itu, atau bertambah lagi dengan yang sekarang sedang proses penyelesaian. Lihat nanti saja,” ujarnya.
Sementara itu, aksi protes terhadap pelaksanaan eksekusi mati jilid III semakin gencar. Koalisi Masyarakat Menolak Hukuman Mati menyatakan pelaksanaan eksekusi mati melanggar aturan dan tak adil. “Ke-14 terpidana itu menempuh jalur hukum yang sama. Informasi eksekusi juga diterima pada waktu yang sama,” kata anggota koalisi dan peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu, kemarin.
Koalisi juga menuding pemerintah telah melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Undang-undang itu melarang pelaksanaan eksekusi bagi terpidana yang tengah mengajukan permohonan grasi ke presiden. Kuasa hukum Humprey Ejike, Muhammad Afif Abdul Qoyim, mengatakan kliennya telah mengajukan upaya grasi melalui Pengadilan Jakarta Pusat pada 25 Juli lalu. “Sampai detik dia ditembak, tak tahu apakah grasinya ditolak atau diterima,” kata Qoyim.
Koordinator Bidang Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani mengatakan hukuman mati terbukti tidak bisa menciptakan efek jera dan menekan peredaran narkoba. Pada 2008, tercatat ada 3,3 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan jumlah itu meningkat menjadi 5,1 juta pada 2015. Padahal, selama 2004 hingga 2014, pemerintah tercatat mengeksekusi 21 mati terpidana narkotik. “Mau dieksekusi berapa pun tidak berpengaruh,” ucapnya.
Adapun analis kebijakan dari Migrant Care, Wahyu Susilo, berpendapat seharusnya pelaku kejahatan dijadikan justice collaborator. Sebab, menurut dia, modus perdagangan narkoba nyaris sama dengan perdagangan manusia, tak mungkin dilakukan sendiri. Salah satu contoh adalah Dwi Wulandari, yang tertangkap di Filipina pada 2012. “Dwi tak dihukum mati, malah dijadikan JC untuk mengungkap sindikat yang lain,” tuturnya.
MAYA AYU l FRANSISCO ROSARIANS | AGUNGS
Berita lainnya:
Eva Sundari: Orang Memprotes Speaker Masjid Bukan Kejahatan
Pelantikan Pengurus PDIP Diwarnai Seruan 'Lawan Ahok'
7 Kebiasaan di Malam Hari yang Merusak Rambut