TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum terpidana mati kasus narkoba Michael Titus Igweh, Sitor Situmorang, tengah merancang gugatan kepada Jaksa Agung Muhammad Prasetyo terkait dengan eksekusi mati terhadap kliennya. Sitor menilai pelaksanaan eksekusi mati III pada Jumat pekan lalu itu tidak adil dan janggal.
Apalagi, menurut dia, kliennya tidak bersalah dalam kasus kepemilikan 5.850 gram heroin. “Ini sewenang-wenang. Klien kami sedang membuktikan dirinya korban salah tangkap,” kata Sitor kepada Tempo, Senin 1 Agustus 2016. (Baca: Soal Pengakuan Freddy Budiman, Ruhut: Mereka Jago Menipu!)
Igweh, warga negara Nigeria itu, ditembak mati oleh regu penembak di Lapangan Tembak Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Selain dia, ada tiga terpidana lain yang dieksekusi mati, yaitu Freddy Budiman (Indonesia), Seck Osmane (Senegal), dan Humprey Ejike (Nigeria). Sebenarnya Kejaksaan menjadwalkan eksekusi mati terhadap 14 terpidana. Namun hanya empat terpidana yang dieksekusi. Eksekusi terpidana lainnya ditunda dengan dalih ada aspek yuridis dan non-yuridis yang belum rampung.
Menurut Sitor, Kejaksaan seharusnya menunda eksekusi Igweh karena proses yuridis kliennya belum tuntas. Hingga pelaksanaan eksekusi, Igweh belum menerima salinan putusan atas permohonan peninjauan kembali (PK) yang ia layangkan ke Mahkamah Agung. Kemarin, MA baru merilis penolakan terhadap PK Igweh yang diketok majelis yang diketuai Artidjo Alkostar pada 20 Juli lalu.
Keluarga terpidana juga menganggap proses eksekusi tidak transparan dan banyak kejanggalan. Siti Rohani, istri terpidana mati asal Pakistan, Zulfiqar Ali, mengaku baru mendapat informasi jadwal eksekusi suaminya pada Jumat dua pekan lalu. Informasi lisan itu ia peroleh dari pihak Kedutaan Besar Pakistan, bukan dari Kejaksaan Agung.
Zulfiqar ternyata batal dieksekusi. Pembatalan itu pun tak segera disampaikan kepada pihak keluarga. "Saya mengira suami saya sudah mati. Saya tinggal menunggu serah-terima jenazah saja," ujar Siti di Cilacap, Sabtu pekan lalu.
Selain Zulfiqar, terpidana lain yang tak jadi ditembak mati pada hari itu adalah Gurdip Singh (India); Onkonkwo Nonso Kingsley, Obina Nwajagu, dan Eugene Ape (Nigeria); Ozias Sibanda dan Frederick Luttar (Zimbabwe); serta Pujo Lestari, Merri Utami, dan Agus Hadi (Indonesia).
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan salah satu alasan penundaan eksekusi adalah pengajuan grasi oleh Merri, Agus, Pujo, dan Zulfiqar. “Kami akan mengkaji semua aspek,” ujar dia.
Osmane, Ejike, dan Freddy juga telah mengajukan grasi pada 25 Juli lalu, tapi tetap dieksekusi. Saat dimintai konfirmasi, Mahkamah Agung menyatakan belum menerima permintaan pertimbangan seluruh grasi tersebut dari presiden. “Seharusnya proses cepat, diterima langsung pimpinan MA, lalu rapat pleno kamar,” kata juru bicara MA, Ridwan Mansyur.
Koalisi Masyarakat Menolak Hukuman Mati mendesak Kejaksaan Agung menjelaskan apa alasan tetap melakukan eksekusi terhadap Igweh, Freddy, Osmane, dan Ejike. Menurut mereka, semestinya keempat terpidana itu juga tidak dihukum mati.
Kejaksaan Agung membantah tudingan ada aturan yang dilanggar dalam proses eksekusi mati. Korps Adhyaksa mengklaim telah menyelesaikan verifikasi, pengumpulan informasi, dan melakukan pertimbangan yang matang hingga akhirnya mengeksekusi empat terpidana mati. “Tak ada masalah, tunggu waktu. Ini kan penundaan,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmad.
ARKHELAUS W | AYU CIPTA | MITRA TARIGAN | FRANSISCO ROSARIANS | DEWI SUCI RAHAYU