TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah tidak memiliki rencana menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Dia mengimbuhkan, informasi soal harga baru rokok yang ramai beredar belakangan ini hanya berupa kajian akademis dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia.
“Belum ada kebijakan baru mengenai harga jual eceran maupun tarif cukai,” ujar Sri di kantornya, Senin 22 Agustus 2016. Selain itu, dia berpendapat, masih banyak cara meningkatkan penerimaan negara yang lebih baik ketimbang menempuh kebijakan ekstrem di satu pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menimpali, kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus akan terhalang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Undang-undang tersebut membatasi kenaikan cukai maksimal 250 persen dari harga produksi pabrik dan 55 persen dari harga eceran.
Heru mengatakan pemerintah masih berkomunikasi dengan berbagai pihak ihwal tarif cukai rokok 2017. Selain organisasi pemerhati kesehatan, kata dia, Kementerian Keuangan berkonsultasi dengan pelaku usaha, petani tembakau dan cengkeh, buruh, pemerintah daerah, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, serta kementerian lainnya.
“Kami tidak boleh memihak. (Kami harus mempertimbangkan) sekitar 6 juta orang yang terlibat dalam rantai pasokan rokok,” kata dia. Sebagai patokan, Heru menuturkan, kenaikan cukai rokok secara reguler di kisaran maksimal 11 persen bisa menjadi rujukan besar kenaikan tahun depan. “Tarif cukai final akan keluar pada akhir September atau awal Oktober.”
Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, Hasan Aoni Aziz, menyatakan kenaikan tarif cukai rokok hanya akan meningkatkan perdagangan rokok ilegal. Menurut dia, perdagangan rokok ilegal rata-rata meningkat 2 persen setiap tahun. “Transaksi perdagangan rokok di pasar gelap mencapai Rp 11 triliun,” dia menuturkan.
Dukungan terhadap kenaikan drastis harga rokok disampaikan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi. “Saya kira memang harga rokok harus ditingkatkan,” kata dia saat dihubungi Tempo, Ahad lalu.
Tulus menilai kenaikan harga rokok dari saat ini sekitar Rp 20–25 ribu menjadi Rp 50 ribu per bungkus rasional untuk membatasi tingkat konsumsi, terutama bagi kelompok rumah tangga miskin. Apalagi, data BPS menunjukkan pemicu kemiskinan di rumah tangga adalah beras dan rokok.
Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah, Fahira Idris, juga menyatakan dukungannya. Dia mendesak pemerintah merealisasi kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu. Fahira juga meminta pemerintah mengatur tata niaga rokok. Menurut dia, tata niaga rokok yang terlalu longgar membuat siapa saja dapat mengakses rokok, termasuk anak sekolah dasar.
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan, ucapnya, jumlah perokok pemula (usia 10–14 tahun) naik dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir. “Pada 2001 jumlahnya hanya 5,9 persen, pada 2010 naik menjadi 17,5 persen,” dia memaparkan.
ANDI IBNU | ALI HIDAYAT | VINDRY FLORENTIN | ABDUL AZIS | FRISKI RIANA
Berita lainnya:
Wacana Rokok Rp 50 Ribu, Ini Tanggapan Sampoerna
Klip Video Diduga Hina Islam, Penyanyi Malaysia Ditangkap
Ahok: Kemarin Kambing Dibedakin, Kok Sekarang Adu Domba?