TEMPO.CO, Jakarta - Surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly soal status mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, sebagai warga negara Indonesia menuai pro-kontra. Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempersoalkan keputusan tersebut.
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Gerindra, Desmond J. Mahesa, menganggap surat keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang kewarganegaraan Republik Indonesia atas nama Arcandra Tahar bermuatan politis. "Ada sesuatu yang tidak wajar. Penetapan status kewarganegaraan jangan karena suka sama Arcandra," ujarnya di gedung DPR, Rabu 7 September 2016.
Pada 15 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo mencopot Arcandra dari posisi Menteri ESDM karena memiliki dua kewarganegaraan, yaitu Amerika Serikat dan Indonesia. Kemarin, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum DPR, Menteri Yasonna mengungkapkan bahwa dirinya telah menerbitkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-1 AH.10.01 Tahun 2016 pada 1 September 2016 yang menyatakan Arcandra tetap sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman, tak setuju atas langkah Yasonna menerbitkan surat keputusan untuk memulihkan status kewarganegaraan Arcandra. “Sejak awal, dia tidak mau transparan kepada rakyat dan Presiden. Ini namanya pengkhianatan. Untuk apa dipermudah,” kata Benny.
Berbeda dengan Desmond dan Benny, Ketua Komisi Hukum dari Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mendukung surat keputusan Menteri Yasonna itu. "Bagi Golkar, kami tidak mendukung ada warga negara yang stateless," ujarnya.
Dalam penjelasannya kepada Komisi Hukum, Menteri Yasonna mengungkapkan, surat keputusan itu menegaskan bahwa Arcandra telah kehilangan status kewarganegaraan Amerika sejak 15 Agustus 2016. "Sudah disetujui oleh Kementerian Luar Negeri Amerika, dan ia mendapatkan certificate of loss nationality," kata dia.
Menurut Yasonna, dengan hilangnya status warga negara Amerika, Arcandra otomatis tetap menjadi warga Indonesia. Apalagi Arcandra datang ke Indonesia dengan paspor Indonesia. Keputusan itu keluar, kata Yasonna, karena pemerintah berupaya melindungi Arcandra berdasarkan asas perlindungan maksimum, dan Indonesia tidak mengenal status tanpa kewarganegaraan (apatride).
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Riawan Tjandra, mengatakan SK Menteri Hukum dan HAM tersebut rawan digugat. Pihak yang tidak terima atas SK itu dapat menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara hingga 90 hari setelah keputusan tersebut keluar. "Siapa saja bisa menggugat. Misalnya orang yang merasa diperlakukan tidak adil, merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sama seperti Arcandra," kata dia.
Riawan menegaskan, Arcandra berhak mendapatkan kembali status WNI karena ia lahir dan besar di Indonesia. Namun, kata dia, Arcandra harus mengikuti proses naturalisasi sesuai dengan undang-undang, bukan melalui SK Menteri Hukum dan HAM. “Tapi ini lebih banyak domain politis juga. Jadi, pemerintah menerbitkan SK supaya status WNI Arcandra cepat pulih.”
Arcandra belum bisa dimintai tanggapan soal SK penetapan WNI dirinya. Panggilan telepon maupun pesan pendek yang dikirim Tempo tidak dijawab. Adapun kakak kandung Arcandra, Yuliarma, belum mengetahui perkembangan status kewarganegaraan adiknya. "Saya belum tahu," ujarnya.
DEWI SUCI R | AHMAD FAIZ| ANDRI EL FARUQI | KODRAT
Berita lainnya:
Penghibur bagi Perempuan Orang Tua Tunggal Agar Bahagia
Asal-Muasal Gatot Brajamusti dan Putu Ary Suta Saling Kenal
Imigrasi Tangkap 10 Gigolo Timur Tengah Bertarif Rp 20 Juta