TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian menduga Juhanda alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia, tersangka kasus bom molotov di Gereja Oikumene Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur, berasal dari jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah Kalimantan Timur. Jaringan ini terafiliasi dengan kelompok Fauzan Al-Anshori yang telah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Kini Markas Besar Polri tengah memburu jaringan teroris tersebut. “Percayakan kepada penegak hukum untuk menangkap jaringannya,” kata Kepala Kepolisian Jenderal Tito Karnavian kepada Tempo, Minggu 13 November 2016.
Berdasarkan keterangan saksi, peristiwa berawal sekitar pukul 10.10 Wita ketika jemaat sedang menjalankan ibadah di Gereja Oikumene. Ketika itu Juhanda muncul dan melempar bom molotov ke halaman parkir gereja. Akibatnya, empat anak dan balita mengalami luka bakar.
Setelah melempar bom, Juhanda mencoba melarikan diri dengan cara meloncat ke Sungai Mahakam yang tepat berada di samping gedung gereja. Namun masyarakat berhasil menangkapnya.
Juhanda bukan pelaku baru dalam tindak pidana terorisme. Sebelumnya, polisi pernah menangkap dia sebagai anggota jaringan teroris pimpinan Pepi Fernando dalam teror bom buku, di Peukan Bada, Aceh Besar, April 2011. Hakim Pengadilan Jakarta Barat menilai warga Bogor itu terbukti ikut merakit roket kelompok Pepi di Aceh. Karena itu, majelis hakim menghukum Juhanda 3,5 tahun penjara. Pada 2014 ia mendapat remisi Idul Fitri dan keluar penjara dengan status bebas bersyarat.
Selepas bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Tanggerang, Juhanda pergi ke Parepare, Sulawesi Selatan. Di sana, ia kembali ditangkap polisi. Kepolisian Resor Parepare meringkusnya karena ia diduga memiliki dan menyimpan bendera ISIS di dalam tasnya. Tidak berapa lama ia dibebaskan dan pergi ke Kalimantan Timur untuk kemudian bekerja sebagai penjual ikan hingga peristiwa pelemparan bom di Gereja Oikumene.
Bekas aktivis Afganistan dan Moro, Ali Fauzi, 46 tahun, membenarkan Juhanda terafiliasi dengan gerakan ISIS. Namun Juhanda masih tergolong amatir. “Kemampuannya nol,” ujar dia kepada Tempo. Menurut Ali, Juhanda hanya mampu menggunakan bom molotov, atau menurut istilah mereka adalah bom sabun. Bom itu disebut bom sabun karena tidak dianggap sebagai bom sesungguhnya.
Direktur Prasasti Perdamaian Taufik Andrie menilai sejumlah residivis kasus terorisme gagal mengalami deradikalisasi semasa menjalani hukuman penjara. Menurut dia, para mantan narapidana justru bergabung dengan kelompok teror yang lebih radikal dan menjadi bagian dari ISIS. Ia menyarankan polisi lebih waspada atas munculnya serangan di Samarinda yang selama ini dianggap buka area operasi terorisme. “Kepolisian harus hati-hati karena ada dinamika yang tak normal. Aksi ini di Kalimantan yang jauh dari wilayah panas terorisme,” ujar dia.
DESTRIANITA l INGE KLARA l WIBISONO | SUJATMIKO
Berita lainnya:
Pendukung Berbelok Jadi Benci Ahok, Mengapa?
Survei Lembaga Sinergi Data: Elektabilitas Ahok-Djarot Turun
Soal Demo 4 November, Fahri ke Jokowi: Yang Ditakuti Apa?