TEMPO.CO, Jakarta - Warga Jakarta rupanya masih mengakrabi praktek pungutan liar (pungli). Sebagian dari mereka bahkan mengakui biasa mengambil manfaat dari pungli. “Biasanya mereka (masyarakat) membayar pungli agar mudah saat mengurus berkas-berkas, dari KTP hingga IMB,” kata pendiri Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi), Hendri Satrio, Kamis 15 Desember 2016.
Kedai Kopi menggelar survei soal praktek pungli terhadap 400 warga DKI Jakarta (ber-KTP DKI Jakarta) sepanjang 1-5 Desember lalu. Survei dilakukan dengan wawancara lewat telepon, yang sebelumnya dipilih secara acak dari lima wilayah di Ibu Kota.
Hasilnya, 49,25 persen responden tak mempermasalahkan adanya pungli. Jumlah mereka berselisih amat tipis dengan yang menolak pungli, yakni 49,75 persen. Sisanya, 1 persen, tidak tahu atau tidak menjawab.
Hendri menjelaskan, dari mereka yang sudah terbiasa menerima pungli itu, 55 persen menyatakan membayar untuk mempermudah atau mempercepat urusan. Alasan lain masyarakat membayar pungli ialah karena tradisi atau kebiasaan.
Selain itu, ada yang menjadikannya sebagai “uang terima kasih” untuk pegawai pemerintah yang telah membantu mengurusi administrasi. “Tapi ada juga yang mengaku terpaksa membayar pungli karena takut dipersulit,” ujarnya.
Berdasarkan hasil survei itu, Hendri menuturkan, nama beberapa instansi muncul sebagai tempat yang masih marak adanya praktek pungli. Beberapa lembaga itu antara lain kelurahan, kecamatan, Satuan Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat), hingga kepolisian.
Hendri menambahkan, meski masih banyak warga DKI Jakarta yang memaklumi, 81,25 persen masyarakat optimistis pungli tersebut bisa diberantas. Hanya 16,50 persen yang pesimistis. “Faktanya, masyarakat masih melestarikan pungli karena mereka mendapatkan manfaat dari pungli itu,” tutur dia.
Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Saefullah, meminta masyarakat segera melaporkan kepada pemerintah dan kepolisian jika menemukan praktek pungli. Menurut dia, sulit memberantas praktek pungli di seluruh DKI jika tak dibantu peran serta masyarakat.
Saefullah juga menyatakan tak ada alasan bagi pegawai pemerintah DKI menarik pungutan dari masyarakat. Sebab, pemerintah telah memberikan gaji pokok dan tunjangan kinerja daerah. Menurut dia, gaji serta tunjangan kinerja itu sudah cukup untuk mensejahterakan pegawai pemerintah. “Jadi, kalau ada (pegawai pemerintah) yang terbukti pungli, pasti akan kami berhentikan,” ujarnya.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, akan serius memberantas praktek pungli. “Kami telah memiliki Satuan Tugas Saber Pungli (Satgas Sapu Bersih Pungli) untuk memberantas pungli,” tuturnya.
Selain Saber Pungli, ujar Argo, kepolisian segera menerapkan sistem electronic Samsat (e-Samsat), e-SIM, dan e-Tilang (bukti pelanggaran). Program-program itu bertujuan mengurangi celah praktek pungli. “Selain itu, kami berharap masyarakat tak berupaya mengiming-imingi petugas (polisi) dengan uang untuk mempercepat urusan mereka,” ujarnya.
Pungli, Sudah Tradisi
Sebagian besar responden dalam survei Kedai Kopi optimistis praktek pungli mudah saja diberantas. Di sisi lain, hampir separuh responden yang sama justru membiasakan diri dengan praktek itu karena mengakui biasa mendapatkan manfaatnya. Kebiasaan memberikan uang tanda terima kasih juga dianggap ikut mempertahankan pungutan-pungutan liar, betapapun reformasi layanan publik sudah dilakukan. Berikut ini hasil sigi tentang pungli di Jakarta:
Setuju/tidak pungli?
- Tak masalah dengan pungli (49,25 persen)
- Menolak pungli (49,75 persen)
- Tidak tahu/tidak jawab (1 persen)
Apa alasan utama mau membayar pungli?
- Mempermudah/mempercepat urusan (55 persen)
- Terpaksa (12,5 persen)
- Tradisi/kebiasaan (4,5 persen)
- Tanda terima kasih (3 persen)
- Saling membutuhkan (0,75 persen)
- Lain-lain (15,75 persen)
- Tidak tahu/tidak jawab (8,50 persen)
Saat mengurus apa terkena pungli?
- KTP (7,5 persen)
- IMB (0,5 persen)
- Akta tanah (0,75 persen)
- SIM (5,5 persen)
- STNK (1,25 persen)
- Surat tilang (2,5 persen)
- Lain-lain (7,75 persen)
- Tidak menjawab (74,25 persen)
Apakah sistem layanan online bisa menekan pungli?
- Ya (73,50 persen)
- Tidak (21 persen)
- Ragu-ragu (1,25 persen)
- Tidak tahu/tidak jawab (4,25 persen)
Sumber: Kedai Kopi
GANGSAR PARIKESIT