TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian menyatakan tak akan segan menindak setiap pelaku razia dan tindakan anarkistis dalam kaitan dengan fatwa haram penggunaan atribut keagamaan non-muslim. Fatwa itu dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia menjelang hari raya Natal tahun ini. "Saya perintahkan ke jajaran, jika ada sweeping anarkistis, tangkap dan proses secara hukum," kata Tito, Senin 19 Desember 2016.
Tito menilai fatwa haram MUI bagi muslim yang mengenakan atribut keagamaan non-muslim tersebut sangat sensitif. Fatwa itu dikhawatirkan akan disalahtafsirkan atau digunakan secara sengaja oleh organisasi kemasyarakatan tertentu sebagai dasar untuk menggelar sweeping anarkistis. Jika hal itu terjadi, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo yang diterimanya, dia akan bertindak tegas. Dia juga mengatakan telah berkoordinasi dengan MUI, “Agar keluaran fatwa mempertimbangkan toleransi.”
Tito menyatakan telah menegur Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota dan Kepala Kepolisian Resor Kulonprogo. Keduanya mengeluarkan surat edaran berisi imbauan dengan acuan fatwa MUI. Di Bekasi, imbauan diedarkan pada 15 Desember atau sehari setelah sebuah gerai penjualan mobil digeruduk anggota Front Pembela Islam (FPI) karena dituduh memaksa karyawannya mengenakan topi Sinterklas.
Tito menilai fatwa MUI bukanlah rujukan hukum positif. Artinya, fatwa tersebut hanya bersifat koordinasi dan bukan menjadi aturan yang harus ditegakkan polisi. “Sudah saya minta agar surat edaran itu dicabut,” katanya.
Kepala Polres Metro Bekasi Kota, Komisaris Besar Umar Surya Fana, membenarkan kabar bahwa dia mengeluarkan imbauan dan menerima teguran karena hal tersebut. “Akan direvisi, nanti diedarkan," katanya melalui pesan pendek.
Tindakan kepolisian yang malah mengawal sosialisasi fatwa MUI oleh kelompok massa yang sama juga disesalkan Ketua Setara Institute, Hendardi. Menurut dia, polisi seharusnya mencegah dan melarang intimidasi berwajah sosialisasi fatwa. "Ini adalah kekeliruan institusi penegak hukum yang memiliki dampak serius pada melemahnya supremasi hukum di Indonesia," ujar dia.
Fatwa yang dimaksudkan adalah yang diterbitkan MUI pada Rabu lalu dengan nomor 56. Dalam fatwa itu disebutkan bahwa hukum bagi umat Islam yang menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
Menurut anggota Komisi Fatwa MUI Abdurahman Dahlan, fatwa itu dikeluarkan lantaran banyak desakan dan keluhan dari umat Islam yang dipaksa perusahaan mengenakan atribut keagamaan non-muslim. Dia mencontohkan topi Natal yang dikenakan karyawan di pusat belanja maupun tempat hiburan. "Ini sama saja mencampuradukkan agama," kata dia.
Ketua MUI Ma'ruf Amin memastikan pihaknya tidak meminta pihak lainnya, seperti organisasi kemasyarakatan, mensosialisasi fatwa itu dengan razia. Dia berpendapat, tindakan itu bisa diminimalkan apabila fatwa tersebut langsung diaplikasikan. "Kami minta pihak keamanan dan perusahaan langsung merespons itu dengan baik, seperti yang di Bekasi,” katanya.
Anggota Majelis Syura DPP FPI, Muchsin Alatas, membantah organisasinya merazia atribut Natal. Menurut dia, yang dilakukan FPI di Bekasi hanya “membantu polisi” memberikan sosialisasi ihwal fatwa MUI. “Kami tidak lakukan sweeping atau kekerasan, tapi kami beri tahu masyarakat supaya paham dan tahu ada fatwa ini,” kata dia.
DEVY ERNIS | DANANG FIRMANTO | ARKHELAUS | ISTMAN MP
Berita lainnya:
Ada Pesan Khusus pada Pecahan Rupiah Baru
Massa Berjubah Sweeping Restoran di Solo, Polda Bergerak
Dubes Dibunuh di Turki, Putin: Kami Harus Tahu Dalangnya