TEMPO.CO, Jakarta- Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dewan Perwakilan Rakyat menguatkan gempurannya dengan mendirikan Pos Komando Pengaduan Hak Angket KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, sejak Senin lalu. Saluran ini segera dimanfaatkan lawan-lawan komisi antikorupsi tersebut.
Hingga kemarin, tiga aduan telah masuk. Aduan pertama datang dari Albert Tilaar yang menyatakan kecewa terhadap KPK akibat berhentinya pengusutan kasus penyimpangan cost recovery (pengembalian biaya operasi) PT Caltex--kini bernama PT Chevron Pacific Indonesia. Aduan kedua adalah laporan tertulis dari bekas calon pemimpin KPK, yakni Antonius Dieben Robinson Manurung, Edward Effendi Silalahi, dan Roby Arya Brata.
Antonius dan Edward juga pernah mendaftar menjadi calon penasihat KPK. Mereka menuding panitia seleksi calon pimpinan KPK tak adil. Aduan ketiga adalah laporan tertulis dari Islan Hanura dan Jaini, yang menyoalkan tidak adanya kelanjutan dalam kasus suap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan pengaduan itu merupakan masukan bagi KPK. “KPK tidak anti-kritik sepanjang tujuannya baik dan ingin bersama memberantas korupsi,” kata dia. Ia menyarankan agar para pengadu yang merasa kasusnya belum ditindaklanjuti oleh KPK datang langsung ke kantor lembaga itu.
Kekecewaan Albert Tilaar bermula dari laporannya ke KPK perihal PT Caltex yang gagal mengelola proteksi kesehatan pensiunan sejak 2000. Perusahaan asuransi tak mampu lagi membayar klaim yang nilainya Rp 11 miliar, sehingga menerima dana penyelamatan dari Pertamina senilai Rp 41 miliar.
Caltex hanya mengucurkan anggaran senilai Rp 18 miliar dari total dana penyelamatan itu. Sisanya, ia sebutkan, dialihkan ke KPS lain, tapi tak ada kejelasan. Lalu ia melaporkannya ke KPK. “Kasus ini mandek,” kata Albert kepada Tempo, kemarin.
Adapun Antonius D.R. Manurung menuding panitia seleksi calon penasihat KPK tak bekerja sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam seleksi tahap akhir, seharusnya ada delapan calon penasihat KPK yang diumumkan ke publik untuk menerima masukan dari masyarakat. "Tapi yang diumumkan cuma lima," kata Antonius.
Panitia angket ini lahir dari kengototan Komisi Hukum DPR agar KPK membuka rekaman pemeriksaan politikus Hanura, Miryam S. Haryani, dalam perkara korupsi e-KTP. Dalam pemeriksaan, Miryam mengaku ditekan enam anggota Dewan agar mengatakan tidak ada pembagian uang e-KTP. Belakangan, sikap Miryam berubah dan menuding ditekan penyidik KPK untuk mengatakan hal itu.
Miryam merupakan satu dari 17 anggota Dewan periode 2009-2014 yang tersangkut kasus skandal suap proyek e-KTP. Kasus yang diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun ini telah masuk persidangan dengan terdakwa dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto dan Irman.
NINIS CHAIRUNNISA | HUSSEIN ABRI YUSUF DONGORAN | MAYA AYU PUSPITASARI | AHMAD FAIZ