TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mengancam akan menutup layanan media sosial selaian Telegram jika penyedia tak mau bekerja sama dengan pemerintah. "Kami harus mengantisipasi dan menangkal radikalisme," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Komisaris Besar Martinus Sitompul, kepada Tempo di Jakarta, Selasa, 18 Juli 2017.
Martinus mengungkapkan hal itu setelah pemerintah menutup layanan aplikasi Telegram yang diduga marak digunakan oleh kelompok teroris. Menurut Martinus, layanan Telegram kerap digunakan kelompok teroris sebagai sarana komunikasi yang cukup aman. Lewat layanan pengiriman pesan ini, kelompok teroris bisa menyebarkan paham radikal dan memberikan perintah untuk kegiatan teror.
Baca: Kapolri Tito Karnavian Jelaskan Alasan Telegram Diblokir
Saat Telegram ditutup, besar kemungkinan para kelompok teroris akan beralih menggunakan layanan pengiriman pesan lain. Karena itu, kata Martinus, polisi akan mengetatkan pemantauan terhadap aktivitas Internet, terutama yang mengandung konten radikalisme. ”Kami akan memonitor akun radikal bersama lintas sektoral,” ujarnya.
Jika ditemukan ada akun yang terbukti berkonten radikal, polisi akan meminta Kementerian Komunikasi memblokirnya. Polisi selalu menjalin komunikasi dengan lembaga lain dalam melawan penggunaan aplikasi untuk kegiatan terorisme. “Kami juga akan melakukan penegakan hukum terhadap akun penyebar kebencian dan paham radikal yang mengarah ke terorisme," kata Martinus.
Baca juga:
Telegram Minta Kerja Sama dengan Indonesia, Begini Respons Jokowi
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan kementerian terus berkomunikasi dengan penyedia layanan yang digunakan di Indonesia. "Semua penyedia aplikasi harus bekerja sama dengan pemerintah," kata dia. Menurut dia, pada dasarnya penyedia layanan memiliki kebijakan dalam penanganan kegiatan terorisme lewat dunia maya. Untuk mencegah penyebaran radikalisme di Indonesia, mereka harus bekerja sama dengan pemerintah. "Intinya, bagaimana kita bersama-sama mempersempit ruang gerak mereka," kata Semuel.
Misalnya, menurut Semuel, pemerintah sudah punya kerja sama dengan WhatsApp dan Facebook. Ketika pemerintah atau masyarakat menemukan konten radikal yang belum diblokir oleh penyedia layanan, pemerintah bisa segera berkoordinasi dengan mereka untuk menutup atau memblokirnya.
Kementerian juga akan memperkuat tim monitoring yang selama ini bertugas memantau konten-konten yang beredar di Internet. "Kami akan tingkatkan kerja tim itu," kata Semuel. Tim khusus itu memiliki tugas khusus memantau konten bermuatan radikal, pornografi, dan terorisme.
Pemerintah Indonesia telah mengambil tindakan dengan menutup layanan Telegram versi web karena sering digunakan oleh kelompok teroris dalam berkomunikasi. Ada 11 DNS yang ditutup, antara lain t.me, telegram.me, dan telegram.org. Langkah itu diambil karena Telegram tak menyediakan standar operasional prosedur untuk penanganan terorisme.
NINIS CHAIRUNISA | SIDIK PERMANA