TEMPO.CO, Jakarta - Para tokoh sudah siap. Pemimpin tua dan muda bersemangat mengajak rakyat untuk revolusi menjelang 17 Agustus 1945. Semua orang sepakat merdeka. Tapi kenyataannya angan-angan itu masih tercekat dalam perundingan yang alot di rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
Tiba-tiba suara Wikana, satu di antara pemimpin utusan pemuda Angkatan 45, memecah keheningan. Ia menarik tangan, yang sedari tadi dalam saku, menuding Bung Karno. “Kalau Bung tidak proklamirkan kemerdekaan sekarang juga atau sekurang-kurangnya besok pagi, pemuda dan rakyat akan berontak,” tulis Burhanuddin Mohammad Diah (BM Diah) menceritakan teriakan Wikana.
Baca: Teks Proklamasi Tulisan Bung Karno Sempat Dibuang
BM Diah merupakan tokoh Angkatan 45, sekaligus wartawan yang terlibat dalam perundingan revolusi kemerdekaan. Drama itu diceritakan ulang oleh putranya, Nurman Diah kepada Tempo pada Rabu, 16 Agustus 2017. Kelak, cerita ini juga tertulis dalam bukunya Angkatan Baru 45.
Nurman bercerita bahwa perundingan itu dilakukan di rumah Bung Karno bersama sejumlah tokoh pada 15 Agustus 1945 sekitar pukul 22.00 WIB. Rapat itu diselenggarakan dadakan, karena Wikana mendatangai rumah Sukarno dan meminta agar segera bersikap. Sukarno tak mau bicara sendiri, ia memanggil Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo (paman BM Diah). Saat itu, BM Diah datang bersama Soebadjo yang baru keluar dari penjara.
Baca: Tokoh 17 Agustus: Mimpi Rafi Ridwan di Panggung Fesyen Dunia
Wikana kembali bicara dengan mengatakan bahwa pemuda siap revolusi, begitu pun dengan rakyat. Mereka siap angkat senjata dalam bentuk apapun, baik merampas, menggunakan bambu runcing, atau sebagainya. Kata Nurman, para pemimpin tua tetap khawatir ada pertumpahan darah. Mereka juga tetap berharap atas janji Jepang yang akan memberikan kemerdekan kepada Indonesia.
Pertemuan itu berakhir tanpa keputusan. Wikana dan tamu lainnya berangsur-angsur meninggalkan rumah Sukarno. BM Diah juga pulang tidur karena lelah sehabis dipenjara. Esoknya, ia mendengar ada peristiwa penculikan Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Soebardjo kemudian menyusul, mengajak para pemuda membuat Naskah Proklamasi di kediaman Laksamana Maeda di Jakarta.
Setelah naskah dibuat, Sukarno meminta agar Sayuti Melik mengetik naskah tersebut. Sementara BM Diah memungut naskah tulisan tangan Proklamasi kemudian menggandakan di percetakan De Unie, Hayam Wuruk. Salinan naskah disebarkan ke penjuru jalan agar rakyat berkumpul untuk upacara kemerdekaan 17 Agustus 1945 Sementara naskah asli Proklamasi tulisan tangan Sukarno disimpan.
AVIT HIDAYAT