TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup berniat mengajukan permohonan subsidi kepada Kementerian Keuangan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah. Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantargebang, Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup, Asep Kuswanto, subsidi diperlukan untuk mengatasi kebuntuan negosiasi mengenai harga jual listrik sampah antara Jakarta Propertindo dan PT Perusahaan Listrik Negara.
“Tapi itu baru usul, pembahasannya masih bergulir,” kata Asep, Senin, 21 Agustus 2017.
Simak: Kementerian Lanjutkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
PT Jakarta Propertindo, perusahaan daerah milik DKI Jakarta yang diberi tugas membangun pembangkit listrik tenaga sampah atau intermediate treatment facility (ITF) di Sunter, Jakarta Utara, memasang tarif US$ 14 sen per kWh. Tapi PLN hanya bisa membeli dengan harga US$ 5,9 –8 sen per kWh.
Ketua Komisi Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Iman Satria, mendukung Dinas Kebersihan yang aktif melobi pemerintah pusat. Ia mengatakan upaya itu terhitung insentif bagi Jakarta Propertindo sebagai investor yang mengatasi permasalahan sampah dalam kota. “Silakan renegosiasi,” ujar dia.
Tarif listrik sampah menjadi salah satu kendala utama dalam rencana pembangunan ITF di Jakarta. Direktur Utama Jakarta Propertindo, Satya Heragandhi, mengatakan sampai saat ini belum ada titik temu antara mereka dan PLN. Pembahasannya sekarang bahkan terhenti karena ada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 50 Tahun 2017 yang diteken pada 7 Agustus lalu. “Kami masih pelajari pasal-pasalnya,” kata dia, Senin, 21 Agustus 2017.
Baca: Sampah di Bali akan Dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik
Peraturan Nomor 50 mengatur tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Dalam aturan itu, PT PLN (persero) bertugas membeli tenaga listrik yang dihasilkan oleh badan usaha-badan usaha yang ditunjuk.
Peraturan Nomor 50 menggantikan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 yang mengatur hal yang sama yang terbit Januari lalu. Mengacu pada aturan yang lama, PLN hanya bisa membeli dari ITF Sunter sebesar US$ 5,9–8 sen per kWh. Adapun Jakarta Propertindo memasang harga US$ 14 sen per kWh agar produksinya berkelanjutan.
Asep Kuswanto mengatakan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup aktif berkoordinasi dengan Kementerian ESDM ihwal harga jual listrik. Soalnya, Peraturan Nomor 50 memungkinkan tarif pembelian listrik ditentukan oleh Menteri ESDM. “Kami terus koordinasi supaya harganya bisa lebih tinggi,” kata dia.
Sambil berkoordinasi, Asep menjelaskan, instansinya sedang menghitung tipping fee atau biaya yang dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta untuk Jakarta Propertindo selaku pengelola ITF. Hasil perhitungan sementara dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, tipping fee berkisar Rp 500–600 ribu per ton.
Asep mengatakan ITF Sunter mulai dibangun September mendatang. Proyek senilai Rp 2,8 triliun itu didanai oleh Jakarta Propertindo dan Fortum, perusahaan asal Finlandia, melalui skema build-operate-transfer (BOT) selama 25 tahun. Perbandingan investasi Jakarta Propertindo dan Fortum adalah 51 : 49.
Proyek ITF bekerja dengan memanfaatkan panas untuk mengubah sampah menjadi listrik. Setelah beroperasi, ITF Sunter mampu mengolah 2.200 ton sampah setiap harinya. Jumlah itu sekitar sepertiga dari rata-rata jumlah sampah harian Jakarta yang mencapai 7.000 ton.
Menurut Asep, permohonan subsidi hanya akan mereka ajukan jika negosiasi harga jual listrik buntu. Opsinya, subsidi bisa diserahkan ke pemerintah DKI Jakarta untuk menambah tipping fee atau PT PLN untuk membeli listrik. “Itu baru usul, pembahasannya masih bergulir,” kata dia.
LINDA HAIRANI