TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus suap yang melibatkan panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi, dan kuasa hukum PT Aquamarine Divindo Inspection (ADI), Akhmad Zaini. Dalam kasus suap itu, para pelaku menggunakan kata sandi “sapi” dan “kambing” untuk nilai suapnya.
Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan bahwa sandi “sapi” merujuk pada nilai Rp 100 juta dan “kambing” Rp 10 juta. “Pelaku sempat meminta tujuh sapi dan lima kambing,” kata dia di gedung KPK, Selasa, 22 Agustus 2017. Artinya, Tarmizi pernah meminta Rp 750 juta kepada Zaini. Namun akhirnya, nilai suap yang disepakati adalah empat sapi alias Rp 400 juta. “Nilai yang dianggap pantas adalah Rp 400 juta,” kata Agus.
Baca juga: KPK Tangkap Tangan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Suap yang diberikan oleh Zaini kepada Tarmizi, kata Agus, bertujuan agar Pengadilan Negeri menolak gugatan perdata wanprestasi yang dilayangkan oleh Eastren Jason Fabrication Service (EJFS), Pte, Ltd terhadap ADI dan menerima rekonvensi ADI. Gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 Oktober 2016.
ADI digugat tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu sehingga merugikan EJFS. Perusahaan maritim asal Singapura ini menuntut ganti rugi senilai US$ 7,6 juta atau sekitar Rp 101 miliar dan Sing$ 131 ribu atau sekitar Rp 1,2 miliar.
Pemberian suap terhadap Tarmizi, menurut Agus, diberikan dalam beberapa kali. Pertama sebesar Rp 300 juta yang ditransfer ke rekening seorang pegawai Pengadilan Negeri bernama Teddy Junaedi. “Keterangan yang diberikan adalah untuk pelunasan tanah,” kata dia.
Baca juga: OTT di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, KPK Tahan 4 Orang
Setelah itu, Zaini kembali mentransfer dana sebesar Rp 25 juta kepada Tarmizi lewat Teddy sebagai dana operasional. Pelunasan suap Rp 100 juta diberikan pada 16 Agustus 2017 dengan keterangan “DP Pembayaran Tanah”. Putusan perkara ini sendiri rencananya dibacakan 21 Agustus 2017 lalu.
Atas perbuatannya, Zaini dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Adapun Tarmizi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b UU Tipikor.
Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, Tarmizi belum diberhentikan oleh PN Jakarta Selatan. Dia baru diberhentikan sementara.
Juru bicara PN Jakarta Selatan, Made Sutrisna, mengatakan pengadilan masih akan melaksanakan proses pemeriksaan internal untuk menjatuhkan sanksi bagi Tarmizi. “Dari situ baru ketahuan ada atau tidaknya pelanggaran disiplin pegawai. Badan pengawas akan menentukan sanksi apa yang akan dijatuhkan,” kata dia.
Pengadilan juga menyerahkan proses hukum yang sedang dijalani Tarmizi kepada KPK. “Kami akan memberikan akses jika ada hal-hal yang bisa dicari atau dikembangkan sesudah kasus ini terungkap,” kata Made.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan lembaganya akan mengetatkan pengawasan setelah ada kasus ini. “Sudah ada pengawasan struktural yang disusun MA,” kata dia. Pengawasan yang dimaksud tertuang dalam Peraturan MA Nomor 7, 8, dan 9 Tahun 2016.
Pengawasan tersebut, menurut Suhadi, dilakukan dari pimpinan pengadilan hingga tingkat pusat. “Pimpinan pengadilan juga wajib memberikan pembinaan,” kata dia. Jika diketahui ada penyimpangan di tingkat panitera, pimpinan pengadilan wajib memberikan teguran. “Jika tidak, bisa diberi sanksi.” KPK masih mengembangan kasus suap ini.
STANLEY WIDIANTO | ANDITA RAHMA | NINIS CHAIRUNNISA