TEMPO.CO, Jakarta - Reklamasi di Pulau C, D, dan G di Teluk Jakarta dihentikan sementara setelah Kementerian Lingkungan Hidup menemukan sejumlah pelanggaran dalam pelaksanaannya. Di antaranya, pengembang tidak bisa menjelaskan asal-usul material tanah untuk menguruk pulau. Menurut Laporan Utama Tempo edisi 1-7 Juni 2015, pengembang diduga mengambil pasir dari pulau-pulau di sekitar Kepulauan Seribu yang terlarang dieksploitasi.
Khusus untuk Pulau C dan Pulau D, Kementerian Lingkungan Hidup menemukan pendangkalan laut akibat tertimbun tanah sisa pengurukan. Kurang dari dua bulan sebelumnya, pada 31 Maret 2016, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Mohammad Sanusi, digulung Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima besel dari Ariesman Widjaja, Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra, pengembang Pulau G.
Baca: Izin Reklamasi Pulau G Rumit, 8 Alasan Kenapa Dibatalkan
Suap itu untuk memuluskan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil--keduanya biasa disebut Raperda Reklamasi.
Aturan tersebut merupakan payung hukum setidaknya bagi dua hal: pendirian bangunan di atas pulau reklamasi dan kontribusi tambahan sebesar 15 persen yang diminta Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama. Tanpa Perda Reklamasi yang diketuk DPRD, mustahil keluar izin mendirikan bangunan atau IMB. “Pengembang belum bisa membangun apa pun di sana,” kata Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Oswar Muadzin Mungkasa.
Di tengah gonjang-ganjing suap reklamasi, terungkap fakta bahwa PT Kapuk Naga Indah telah mendirikan sejumlah bangunan di atas Pulau D. Setelah menyelidik ke lapangan, Kementerian Lingkungan Hidup menemukan delapan pelanggaran izin lingkungan--dua di antaranya telah disebutkan di atas.
Baca: Reklamasi Pulau G Berlanjut, MA Tolak Kasasi Nelayan dan Walhi
Kementerian Lingkungan Hidup kemudian menghentikan sementara kegiatan PT Kapuk Naga Indah di Pulau C dan D. Selama moratorium, Kementerian Lingkungan Hidup memerintahkan pengembang membereskan sebelas hal, antara lain mengubah dokumen lingkungan seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan. Pengembang juga wajib mengeruk pendangkalan yang terjadi di sekitar pulau paling lama 90 hari setelah sanksi dijatuhkan.
Kenyataannya, hingga Senin pekan lalu, selat yang memisahkan Kamal Muara di daratan Jakarta dengan Pulau C dan Pulau D masih dangkal. Nelayan yang tinggal di Kamal Muara tak bisa mengemudikan perahunya melalui jalur ini. Bisa-bisa perahu kandas. “Airnya penuh lumpur. Kedalamannya mungkin tinggal sedengkul,” ujar Mustafa, nelayan Kamal Muara.
Sebelum moratorium diterapkan, bangunan di Pulau D disegel Dinas Penataan Kota DKI Jakarta. Dua pekan setelah Sanusi ditangkap, Dinas Penataan melarang PT Kapuk Naga Indah melanjutkan pendirian berbagai bangunan di atas Pulau D.
Baca: Pengembang Pulau G Yakin Anies-Sandi Lanjutkan Proyek Reklamasi
Ketika Tempo melongok ke pulau itu pada Ahad dua pekan lalu, segel dan plang yang melarang pembangunan sudah tak tampak lagi. Bangunan-bangunan lain pun sudah tumbuh di atas pulau.
Pengacara PT Kapuk Naga Indah, Kresna Wasedanto, menyanggah kabar bahwa perusahaan itu diam-diam mendirikan banyak bangunan baru di areal reklamasi. “Tak mungkin ada penambahan bangunan. Itu hanya perawatan. Kami hanya menjaga lingkungan,” tuturnya. Ihwal selat yang tak dikeruk, Kresna berkata, “Saya cek lagi. Kalau sanksinya dicabut, semestinya pengerukan sudah dilaksanakan.”
ANTON SEPTIAN | AVIT HIDAYAT | SYAILENDRA | GANGSAR PARIKESIT
Catatan:
Artikel selengkapkan silakan baca majalah Tempo edisi pekan ini, 11 - 17 September 2017.