Simpang Siur Syarat Penumpang Naik Pesawat, Tes PCR atau Antigen?
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Kodrat Setiawan
Rabu, 20 Oktober 2021 15:29 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Simpang siur syarat penumpang pesawat menjadi perbincangan hangat masyarakat sejak terbitnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2 dan Level 1 Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali yang dikeluarkan pada Senin, 18 Oktober 2021. Aturan itu disebutkan berlaku mulai Selasa, 19 Oktober 2021.
Instruksi anyar yang diteken Mendagri Tito Karnavian itu salah satunya mengatur bahwa pelaku perjalanan domestik khususnya yang menggunakan pesawat udara harus mempersiapkan kartu vaksin minimal dosis pertama dan hasil tes PCR. Hasil tes PCR sebagai salah satu syarat penerbangan itu harus diambil minimal dua hari sebelum keberangkatan (H-2).
Perkara itu menjadi simpang siur setelah Kementerian Perhubungan mengatakan syarat penerbangan tersebut saat ini masih belum berubah lantaran belum adanya revisi Surat Edaran Satuan Tugas Covid-19. Dengan begitu, syarat penerbangan hingga kini masih merujuk pada SE Satgas Nomor 17 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi Covid-19.
"Jika Satgas sudah melakukan revisi SE pasti kami akan menyesuaikan," ujar Adita kepada Tempo, Rabu, 20 Oktober 2021.
Ia mengatakan hal tersebut berkaitan dengan konsistensi rujukan aturan. Pasalnya, selama ini ketentuan yang dikeluarkan Kemenhub selalu merujuk kepada Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19.
Dengan demikian, selama Surat Edaran Satuan Tugas Covid-19 terbaru belum terbit, aturan syarat penerbangan pun belum berubah. Ia mengatakan ketentuan anyar terbit setelah adanya surat edaran terbaru.
Adita mengatakan Kemenhub akan mengumumkan secara resmi kepada masyarakat dan akan memberi waktu kepada operator penerbangan dan bandara untuk menyesuaikan dengan ketentuan tersebut.
<!--more-->
Ketentuan penerbangan sebelumnya menyebut bahwa penumpang yang baru mendapat vaksin dosis pertama harus menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan.
Khusus untuk penumpang yang sudah menerima vaksin dosis kedua, bisa menunjukkan hasil rapid test antigen yang sampelnya diambil minimal 1x24 jam sebelum keberangkatan. Untuk penerbangan ke luar Jawa-Bali, maka penumpang harus melakukan tes PCR.
Soal simpang siur syarat penerbangan tersebut, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi meminta pemerintah memperjelas aturan syarat penumpang pesawat agar konsumen tidak kebingungan. "Harus segera diselesaikan. Aturan mana yang mau dipakai, Kemendagri atau Kemenhub?" ujar Tulus.
Di samping soal tak jelasnya syarat penumpang penerbangan, Tulus lebih sepakat apabila hasil rapid test antigen dipergunakan sebagai syarat perjalanan menggunakan pesawat. Musababnya, tarif PCR jauh lebih mahal dari rapid test-antigen.
"Syarat wajib PCR akan memberatkan konsumen dan akan membuat masyarakat malas menggunakan pesawat. Nasib maskapai udara dan airport bakal makin terpuruk," ujar Tulus.
Menurut Tulus, kebijakan itu juga harusnya mengikuti status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Saat ini, kata dia, sudah banyak daerah di Jawa-Bali yang turun level PPKM ke level 2, bahkan level 1. "Seharusnya cukup antigen untuk penumpang pesawat, bukan tes PCR," tuturnya.
<!--more-->
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan selama ini perseroan beroperasi dengan menyesuaikan Surat Edaran yang diterbitkan Kementerian Perhubungan, yang berbasis kepada Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19. "Kita tunggu Surat Edaran barunya deh."
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito meminta semua pihak menunggu surat edaran baru dari lembaganya. Ia mengatakan ketentuan baru akan terbit besok, Kamis, 21 Oktober 2021.
Namun, secara umum, dia mengatakan Surat Edaran Satgas Covid-19 akan menyesuaikan Instruksi Mendagri teranyar. "Tunggu saja aturan baru besok. Semua itu akan kami jelaskan," kata Wiku saat ditanya mengenai simpang siur syarat perjalanan menggunakan pesawat tersebut.
Pakar penerbangan yang juga Komisaris PT Asia Aerotechnology, Alvin Lie, ikut mengomentari sengkarut syarat penerbangan tersebut. "Perbedaan pendapat antar Kementerian menimbulkan kebingungan masyarakat, pelaku usaha, dan petugas pelaksana sehingga menghambat upaya pemulihan perekonomian yang sedang diupayakan pemerintah," ujarnya.
Di samping itu, ia melihat aturan-aturan anyar pemerintah kerap menimbulkan kebingungan bagi masyarakat lantaran acapkali dirilis pada malam hari untuk diberlakukan pada esok harinya.
Kebiasaan tersebut, menurut dia, tidak sesuai dengan azas pemerintahan yang baik. Pasalnya, pemberlakuan peraturan baru selalu harus memberi waktu yang memadai bagi masyarakat untuk menyesuaikan diri.
Selain itu, aparat pelaksana juga perlu melakukan persiapkan yang matang. Kecuali, kata Alvin, jika negara dalam kondisi darurat yang sangat mendesak. Ia menilai Instruksi Mendagri Nomor 53 tidak diterbitkan dalam kondisi kegentingan yang mendesak.
<!--more-->
"Pemberlakuan seketika berpotensi menimbulkan kekisruhan pelaksanaan di lapangan serta ketegangan antara masyarakat (pengguna jasa transportasi udara) dengan petugas pelaksana di bandar udara," ujar bekas Anggota Ombudsman RI itu.
Hal itu terbukti dengan kejadian beberapa hari ini. Alvin melihat sebagian besar belum mengetahui adanya perubahan persyaratan penerbangan itu pada 19 Oktober 2021. Akibatnya, Para calon penumpang yang mestinya berangkat tanggal 20 Oktober pagi hari tidak punya kesempatan untuk melakukan tes PCR. Sebab, hasil tes PCR biasanya baru bisa keluar paling cepat sekitar 6 hingga 8 jam.
"Mereka hanya berbekal hasil tes antigen ketika tiba di bandara. Sebagian penumpang justru membatalkan penerbangannya," ujar Alvin. Menurut dia, situasi tersebut pun menuai keluhan dari para agen perjalanan dan operator hotel.
Menurut dia, pembatalan perjalanan sangat mungkin terjadi lantaran para pelancong merasa beban biaya wajib tes PCR bisa lebih mahal dari tarif penerbangan. Sebelumnya Kementerian Kesehatan harga tertinggi RT PCR adalah Rp 495 ribu untuk di wilayah Jawa dan Bali, dan Rp 550 ribu untuk daerah luar Jawa Bali.
"Terutama mereka yang berencana pergi sekeluarga atau tim kerja perusahaan. Tambahan biayanya mencapai jutaan rupiah untuk dua kali tes PCR (ketika berangkat dan ketika pulang)," ujarnya.
Untuk itu, Alvin mendesak Satgas Covid-19 untuk segera menerbitkan regulasi baru untuk mengakhiri kebingungan para pemangku kepentingan, yang dilanjutkan dengan terbitnya regulasi baru dari Kementerian Perhubungan.
Ke depannya, ia menyarankan agar perkara syarat perjalanan hanya diatur melalui regulasi Kementerian Perhubungan lantaran bukan merupakan ranah Kementerian Dalam Negeri. Dengan demikian, regulasi tersebut tidak menimbulkan kebingungan masyarakat. "Sebaiknya setiap Kementerian membatasi dirinya mengatur hanya bidang yang menjadi ranah kewenangan dan kewajibannya saja. Tidak melebar masuk ke ranah tetangga," tuturnya.
CAESAR AKBAR
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.